Etika Publik yang Hilang: Dari Lisan Pejabat ke Ledakan Aksi Massa

Oleh : Dr. Don Bosco Doho | Senin, 01 September 2025 - 17:07 WIB

INDUSTRY.co.id, Dalam sejarah panjang kehidupan politik bangsa ini, rakyat Indonesia sering dikenal sebagai bangsa yang ramah, sabar, bahkan pemaaf. Dalam keseharian, rakyat banyak memilih diam, menahan diri, dan memendam rasa kecewa terhadap perilaku pejabat publik. Namun, sejarah juga mencatat bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.

Ketika kata-kata pejabat publik berubah menjadi pisau yang melukai harga diri rakyat, ketika empati digantikan oleh arogansi, maka yang terjadi adalah ledakan sosial: demonstrasi, penggerudukan, bahkan penjarahan rumah para wakil rakyat. Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi atau politik, melainkan juga cerminan krisis kesantunan komunikasi publik.

Lisan sebagai Cermin Etika Publik

Dalam filsafat klasik, Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk sosial yang hidup dalam komunitas politik, diikat oleh etika kebersamaan. Etika itu diwujudkan dalam bahasa. Tutur kata seorang pemimpin bukan hanya sekadar bunyi, melainkan juga simbol moral. Di sinilah berlaku adagium klasik: “Language is the house of being” (Heidegger). Bahasa adalah rumah kemanusiaan, tempat kita memahami diri dan orang lain.

Sayangnya, rumah itu kini sering runtuh. Kita mendengar pejabat publik yang menyampaikan kata-kata tanpa empati: menyalahkan rakyat miskin karena malas, menyindir rakyat kecil karena dianggap bodoh, atau berkelakar tidak pada tempatnya di tengah bencana. Kata-kata itu menyebar cepat melalui media sosial, dikutip tanpa henti, dan menjadi pemicu amarah kolektif.

Etika publik menuntut agar pejabat memiliki kesadaran bahwa setiap kata yang diucapkan adalah representasi negara. Lisan bukan milik pribadi, melainkan cermin jabatan. Di sinilah berlaku prinsip Immanuel Kant tentang imperatif kategoris: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu dapat menjadi hukum universal.” Seorang pejabat, dengan segala kekuasaan simboliknya, dituntut untuk menimbang apakah kata-katanya pantas menjadi teladan bagi publik.

Rakyat yang Pemaaf Bisa Berubah Reaktif

Rakyat Indonesia sering diasumsikan permisif. Mereka menerima janji-janji politik yang tak kunjung ditepati, mereka memaafkan skandal-skandal moral pejabat, bahkan tetap sabar menghadapi layanan publik yang buruk. Tetapi ketika bahasa kekuasaan semakin menjauh dari bahasa rakyat, muncul jurang sosial yang dalam.

Habermas, seorang filsuf Jerman, menekankan pentingnya communicative action—tindakan komunikatif yang berlandaskan kesalingpahaman (mutual understanding). Dalam komunikasi publik, pejabat tidak sekadar berbicara, melainkan membangun ruang dialogis yang menghormati rakyat sebagai subjek. Namun, yang sering kita saksikan justru sebaliknya: komunikasi satu arah yang arogan, seolah rakyat hanyalah objek yang harus patuh.

Maka tak mengherankan jika kesabaran itu meledak menjadi reaksi keras. Demonstrasi yang awalnya damai bisa berubah anarkis. Rumah pejabat yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan rakyat malah digeruduk dan dijarah. Fenomena ini menyadarkan kita bahwa reaksi rakyat adalah cermin dari krisis komunikasi etis para pejabatnya.

Krisis Empati di Ruang Kekuasaan

Seorang pemimpin sejati dituntut untuk memiliki kecerdasan sosial. Daniel Goleman, dalam kajiannya tentang emotional intelligence, menekankan bahwa pemimpin yang sukses adalah mereka yang mampu membaca emosi rakyat, menunjukkan empati, dan berbicara dengan hati.

Sayangnya, banyak pejabat publik kita justru gagap dalam hal ini. Mereka lebih fasih berbicara dengan data statistik, jargon politik, atau sindiran kepada lawan, ketimbang menundukkan hati di hadapan rakyat. Padahal rakyat bukan hanya butuh program, tapi juga butuh dihargai secara emosional.

Etika publik bukan sekadar aturan normatif, melainkan sebuah panggilan moral. Seperti dikatakan Cicero, filsuf Romawi, “Salus populi suprema lex esto”—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, tutur kata pejabat publik seharusnya mengalir dari prinsip ini: menjaga martabat rakyat, bukan melukai.

Ketika Lisan Menjadi Bara Api

Di era digital, setiap lisan pejabat terekam, diabadikan, dan disebarkan dalam hitungan detik. Sekali salah bicara, selamanya tersimpan di jejak digital. Ini menjadi tantangan sekaligus pengingat bahwa kesantunan publik tidak bisa dinegosiasikan.

Kita sering lupa bahwa kata adalah tindakan. John Austin, filsuf bahasa, menyebut ini sebagai speech acts: ketika kita berbicara, kita sesungguhnya melakukan tindakan. Ketika pejabat berkata “rakyat malas,” itu bukan sekadar kalimat, melainkan tindakan penghinaan simbolis. Ketika pejabat berkata “harga segini masih murah,” itu bukan sekadar opini, melainkan bentuk perendahan sensitivitas sosial.

Bahasa pejabat publik bisa menjadi obat penenang bagi rakyat, tetapi bisa juga menjadi bara api yang menyulut ledakan massa.

Belajar dari Tradisi Filsafat Etika

Sejumlah filsuf memberi kita bekal berharga untuk menilai fenomena ini. Aristoteles mengajarkan ethos sebagai bagian dari retorika: kredibilitas moral pembicara menentukan penerimaan publik. Pejabat publik kehilangan ethos jika kata-katanya tidak selaras dengan keadilan. Selain itu, Immanuel Kant menekankan universalitas moral: seorang pejabat harus berbicara seolah-olah setiap ucapannya akan menjadi hukum universal. Lalu, Habermas menekankan komunikasi yang dialogis, bukan instruktif, untuk menciptakan legitimasi politik. Yang tidak kalah pentingnya, Confucius dari tradisi Timur menekankan pentingnya li (kesopanan dan kepatutan). Dalam pandangan ini, pejabat yang tidak menjaga tutur kata sesungguhnya merusak harmoni masyarakat.

Semua pemikiran ini menyatu dalam pesan sederhana: etika publik adalah fondasi legitimasi politik. Tanpa kesantunan, jabatan hanya menjadi panggung sementara menuju krisis.

Jalan Menuju Restorasi Etika Publik

Apa yang harus dilakukan? Pertama, pejabat publik perlu melatih kesadaran reflektif sebelum berbicara. Dalam tradisi filsafat, ini disebut phronesis (kebijaksanaan praktis)—kemampuan untuk menimbang konsekuensi kata dan tindakan.

Kedua, penting membangun kecerdasan sosial sebagai bagian dari kepemimpinan. Pemimpin tidak hanya dituntut cerdas secara intelektual, tetapi juga peka terhadap rasa sakit dan penderitaan rakyat.

Ketiga, media dan masyarakat sipil perlu menuntut standar komunikasi publik yang lebih tinggi. Seorang pejabat harus sadar bahwa setiap kata adalah bentuk akuntabilitas moral, bukan sekadar hak berpendapat.

Etika Publik adalah Benteng Demokrasi

Bangsa ini tidak sedang kekurangan program pembangunan, melainkan sedang kekurangan kesantunan publik. Gelombang aksi massa yang dipicu oleh lisan pejabat menunjukkan bahwa komunikasi tanpa etika hanya akan melahirkan delegitimasi.

Pada akhirnya, tugas utama pejabat publik bukan sekadar mengatur negara, melainkan menjaga martabat rakyat melalui tutur kata yang penuh empati, kepekaan, dan kecerdasan sosial. Seperti dikatakan filsuf Yunani kuno, Epiktetos: “Manusia diberi satu mulut dan dua telinga agar ia lebih banyak mendengar daripada berbicara.”

Mungkin, inilah yang perlu diingat para pejabat publik hari ini: sebelum berbicara, dengarkanlah dulu suara rakyat. Karena dari lisan yang bijak lahirlah legitimasi, dan dari lisan yang ceroboh lahirlah ledakan aksi massa.

Dr. Don Bosco Doho adalah Dosen Etika dan Filsafat Komunikasi, LSPR Institute of Communication and Business, Jakarta