Banjir Berulang di Sipora Soroti Perizinan Ekstraktif di Pulau Kecil

Oleh : Wiyanto | Kamis, 17 Juli 2025 - 08:53 WIB

INDUSTRY.co.id-Jakarta – Pulau Sipora, salah satu gugusan pulau kecil di Mentawai, kembali diterjang banjir parah pada Senin, 14 Juli 2025. Setelah diguyur hujan sedang selama 48 jam, Desa Saureinu terendam banjir untuk kedua kalinya di tahun 2025.

Kejadian ini hanya berselang kurang dari sebulan dari banjir sebelumnya yang merendam desa-desa di Saureinu hingga ketinggian 1,5 meter. "Intensitas banjir yang berlipat hingga tiga kali dalam setahun menunjukkan bahwa Sipora adalah pulau kecil yang rentan terhadap krisis iklim dan tengah merasakan dampak berupa cuaca ekstrem dan pergeseran musim. Ditambah dengan hadirnya ancaman-ancaman baru yang berpotensi mengubah bentang alam Pulau Sipora." ujar Amalya Reza, juru kampanye Bioenergi Trend Asia.

Ancaman terhadap bentang alam Pulau Sipora tidak terlepas dari konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberikan kepada sebuah perusahaan mencakup area seluas 20.706 hektar untuk pemanfaatan hasil hutan kayu dan 200 hektar untuk jasa lingkungan. Luas konsesi ini mencakup sekitar sepertiga dari total luas Pulau Sipora yang hanya 61.518 hektar, menempatkannya dalam kategori pulau kecil.

Ada 17 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masuk ke dalam konsesi, dengan 6 DAS di antaranya lebih dari 50% berada dalam wilayah konsesi. Ini berpotensi mengubah aliran sungai dan tutupan di sekitarnya. Ditambah dengan karakteristik DAS di pulau kecil yang cenderung pendek, ini memperbesar kemungkinan banjir semakin sering terjadi.

"Izin perusahaan berpotensi mendeforestasi 20.143 hektar hutan alam, atau setara dengan 97% dari luas konsesi tersebut. Potensi perubahan bentang alam dengan hadirnya konsesi akan memperbesar kemungkinan bertambahnya intensitas banjir. Dengan begitu, menambah kerentanan pulau-pulau kecil serta masyarakat yang tinggal di dalamnya,” tambah Amalya.

Menurutnya, Hadirnya Perusahaan tersebut di Pulau Sipora sangat tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PPK). Meskipun Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (PBPH) tidak secara eksplisit dilarang di pulau kecil seperti halnya tambang mineral, namun potensi kerusakannya terhadap sistem tata air di pulau kecil melanggar Pasal 23 UU PPK yang mengamanatkan pemanfaatan yang berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu.

Saat ini, Kata dia, Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang diajukan oleh perusahaan tersebut masih dalam proses untuk mendapat persetujuan pelepasan hak dari delapan desa yang masuk ke dalam konsesi, dan ANDAL tersebut termasuk dalam kategori risiko tinggi.

“Perizinan ini di Sipora menunjukkan dugaan abainya prinsip partisipasi bermakna dan pengakuan terhadap hak ulayat. Warga tak diberi informasi utuh dan sistem tenurial adat diabaikan. Di pulau kecil seperti Sipora, hal ini bukan hanya memicu konflik agraria, tapi juga.memperbesar risiko bencana ekologis,” jelas Diki Rafiqi, Direktur LBH Padang.

LBH Padang dan Trend Asia juga menemukan bahwa pemetaan batas wilayah adat tidak.dijadikan rujukan utama dalam proses perizinan, sehingga ada tumpang tindih antara wilayah konsesi dan tanah ulayat masyarakat adat Mentawai.

Eksploitasi serupa tidak hanya terjadi di Sipora, tetapi juga di gugusan kepulauan lain di Mentawai.

Padahal, keseluruhan Kepulauan Mentawai sendiri, berdasarkan data Inarisk BNPB, merupakan wilayah dengan kerentanan tinggi terhadap bencana, dengan 69% dari total populasi telah terdampak oleh cuaca ekstrem. Analisis Trend Asia juga menemukan bahwa.daerah-daerah pesisir dan DAS di Kepulauan Sipora memiliki kerentanan banjir yang tinggi. “Pemerintah harus segera menghentikan penerbitan izin-izin industri ekstraktif di pulau-pulau kecil dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin yang sudah ada. Suara masyarakat adat tidak boleh diabaikan, menimbang melindungi ekosistem dan keberlangsungan hidup mereka yang rentan,” pungkas Amalya Reza, juru Kampanye Bioenergi Trend Asia.