Menumbuhkan Wakaf Uang di Kampus

Oleh : TATANG ASTARUDIN Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung | Senin, 11 Agustus 2025 - 19:51 WIB

INDUSTRY.co.id-Kampus yang berdiri sebelum Indonesia merdeka—tepatnya 27 Rajab 1364 H atau bertepatan dengan 8 Juli 1945 tersebut dikenal sebagai Perguruan Tinggi berbasis wakaf. Kampus yang semula bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) tersebut berada dalam naungan Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Artinya, jejak historis UII sangat kuat sekali hubungan nya dengan wakaf, para founding father UII menempatkan Wakaf sebagai titik berangkat dan fondasi perjuangan UII.

Saat ini UII memiliki kelengkapan elemen pendukung wakaf yang jarang dimiliki oleh lembaga lain. UII memiliki lebih dari 26000 mahasiswa, 140 ribu alumni, lebih dari 1000 dosen dan staff. UII juga memiliki BPRS yang sudah menjadi LKSPWU, beberapa unit usaha produktif, mulai dari Rumah Sakit, Apotek, Hotel, SPBU, Pusat Pelatihan, Stasiun Radio, dan Bisnis Center yang menyediakan layanan barang dan jasa.

Sebagai lembaga pendidikan, UII adalah tempat berkumpulnya kelompok terdidik bermasa depan dan kelas menengah berdaya beli yang cukup tinggi, mereka juga memiliki kesadaran spiritualitas yang baik, mereka juga "digital savvy", akrab dan menguasai perangkat teknologi digital. Oleh karena itu, UII sangat potensial menjadi “episentrum”, pusat gerakan wakaf di Jogjakarta dan di Indonesia secara umum.

Wakaf adalah warisan dan jejak peradaban. Ia tumbuh dari kesadaran spiritual untuk memberi yang terbaik kepada sesama, dan dirancang agar manfaatnya terus mengalir, bahkan setelah sang pemberi telah tiada. Dalam sejarah Islam, wakaf menjadi pilar penting bagi kehidupan publik: membiayai sekolah, rumah sakit, pelayanan ibadah, hingga layanan air dan infrastruktur kota.

Saat ini, dalam wajah modernnya, wakaf mengalami transformasi penting. Ia tidak lagi hanya berupa tanah dan bangunan, tetapi juga uang. Wakaf uang kini menjadi bentuk baru dari keikhlasan lama. Wakaf uang lebih fleksibel, lebih mudah disalurkan, dan sangat cocok untuk menjawab kebutuhan zaman yang bergerak cepat. Sayangnya, potensi besar wakaf uang belum diimbangi dengan infrastruktur kelembagaan dan kebudayaan publik yang memadai.

Pada titik inilah kampus memegang peranan kunci. Kampus adalah ruang di mana gagasan diuji, nilai-nilai ditanam, dan masa depan didesain. Kampus bukan sekadar tempat menuntut ilmu, melainkan medan strategis pembentukan watak sosial. Maka, jika ingin membangun budaya wakaf uang yang berkelanjutan, kampus adalah tempat paling tepat untuk menyemainya.

Wakaf uang di kampus dapat dimulai dari langkah-langkah kecil: penyisihan rutin dari mahasiswa, kontribusi dosen dan tenaga kependidikan, serta alokasi dari unit usaha kampus. Namun yang penting bukan hanya jumlah yang dikumpulkan, melainkan bagaimana ia dikelola dan dimaknai. Dana wakaf dapat menopang beasiswa untuk mahasiswa dari keluarga prasejahtera, mendukung riset-riset sosial yang tidak dilirik pasar, atau membiayai program pengabdian yang menyentuh akar rumput.

Wakaf uang akan menjelma sebagai infrastruktur sosial kampus. Ia dapat menopang yang tidak kuat, memelihara yang nyaris hilang, dan memperluas akses yang selama ini terbatas. Di tangan kampus, wakaf bukan hanya amal, melainkan sistem keberpihakan yang konkret.

Namun, untuk dapat tumbuh, gerakan wakaf uang kampus perlu sistem. Banyak inisiatif baik berhenti karena tidak memiliki desain kelembagaan yang kuat. Maka kampus perlu membentuk unit pengelola wakaf profesional, platform digital yang mudah diakses, serta tata kelola yang akuntabel dan transparan. Harus ada regulasi internal, audit rutin, dan sistem pelaporan terbuka kepada publik kampus.

Ketika gerakan sudah terlembagakan, ia akan mampu bertahan melewati pergantian kepemimpinan. Ia akan hidup sebagai budaya, bukan sekadar proyek. Justru inilah kekuatan kampus: ia memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, jejaring yang luas, serta reputasi publik yang tinggi. Dan ini menjadi modal penting untuk membangun sistem wakaf yang hidup dan terpercaya.

Yang lebih menarik, mahasiswa hari ini bukan generasi apatis. Mereka kritis, sadar sosial, dan terbiasa hidup dalam dunia digital. Namun mereka juga tidak mudah digerakkan hanya oleh ajakan atau instruksi. Mereka ingin melihat bukti, bukan sekadar janji. Mereka bisa bertanya: ke mana dana ini akan pergi? Siapa penerima manfaatnya? Apa dampaknya bagi kampus dan masyarakat?

Pada konteks itulah transparansi dan partisipasi menjadi krusial. Mahasiswa harus dilibatkan sejak awal: sebagai donatur (wakif), pengelola, desainer platform, hingga penyusun laporan dampak. Mereka harus merasa menjadi bagian dari gerakan, bukan objek kampanye semata. Saat mereka dilibatkan, wakaf uang tidak lagi sekadar proyek spiritual, tetapi menjadi gerakan kolektif yang tumbuh dari bawah.

Gerakan wakaf yang kini mulai dijalankan oleh beberapa kampus, termasuk Universitas Islam Indonesia (UII), adalah langkah strategis untuk mengembalikan ruh wakaf sebagai kekuatan sipil. Namun, untuk menjadikannya lebih dari sekadar program, ia harus dijahit dalam visi kelembagaan jangka panjang.

Setiap kampus idealnya memiliki peta jalan wakaf: target jangka pendek, indikator keberhasilan, model kelembagaan, serta strategi pengembangan ekosistem. Tidak harus seragam, tetapi harus sistemik. Tidak harus besar di awal, tetapi konsisten. Dengan peta jalan yang jelas, kampus dapat membangun ekosistem wakaf yang mencakup sisi spiritualitas, kelembagaan, teknologi, dan dampak sosial. Wakaf uang tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian integral dari perencanaan kampus. Di titik ini, kampus dibangun bukan hanya sebagai pusat ilmu, tapi sebagai pusat nilai.

Saat ini, kita hidup di zaman di mana solidaritas tak hanya bergantung pada negara. Kita memerlukan jaringan nilai, sistem kepercayaan, dan tata kelola partisipatif yang dapat menopang kehidupan bersama. Wakaf uang, ketika diposisikan secara benar, adalah salah satu jawabannya. Ia membawa semangat spiritual, tapi juga mengandung logika sosial yang kuat.

Maka, seyogianya “Gerakan Wakaf Uang” harus dilepaskan dari belenggu seremoni tahunan dan target donasi. Ia harus diletakkan dalam struktur kampus, dalam keseharian mahasiswa, dalam perencanaan jangka panjang pendidikan. Sebab ketika wakaf menjadi bagian dari ekosistem kampus, ia tidak hanya mengalir sebagai dana, tapi juga sebagai warisan nilai. Dan jika nilai tersebut dirawat dengan baik, warisan itu akan jauh lebih berarti daripada bangunan yang didirikan atau angka yang diakumulasi. Ia akan menjadi jejak yang tak terlihat, tapi terasa—bukan hari ini, tapi untuk waktu yang sangat panjang ke depan. Insya Allah