Kondisi Logistik Nasional Memprihatinkan, Pakar Desak Reformasi Sistemik dan Regulasi Tarif

Oleh : Candra Mata | Sabtu, 02 Agustus 2025 - 23:10 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta ,Di tengah pesatnya pertumbuhan perdagangan dan e-commerce di Indonesia, kondisi industri logistik nasional justru menunjukkan realita yang memprihatinkan. Minimnya regulasi, kurangnya koordinasi, dan persaingan harga yang tidak sehat menjadi tantangan besar yang hingga kini belum terselesaikan.

Muhamad Pahlevi, Pengamat Bisnis dan Praktisi Logistik, mengungkapkan bahwa situasi ini telah berlangsung cukup lama dan memerlukan reformasi menyeluruh di sektor logistik. Ia menyoroti bahwa persoalan utama adalah tidak adanya sistem yang terintegrasi serta satu payung regulasi yang mencakup pelayanan, tarif, dan standardisasi kualitas. 

“Saat ini semua pemain bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya terjadi repotition, perang harga, bahkan ada yang rela menurunkan margin hingga tersisa Rp150 ribu saja, yang pada akhirnya habis juga tergerus biaya operasional,” ujar Pahlevi.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dunia logistik terbagi dalam dua kategori besar, yaitu layanan kurir (seperti JNE, Pos Indonesia, SAP) dan pengiriman door-to-door untuk antar gudang atau proyek. Namun, kedua kategori ini kini mengalami konflik harga di berbagai level, termasuk di tingkat hub dan antar penyedia jasa. 

“Kalau tidak ada regulasi, yang murah pasti menang. Kualitas jadi nomor sekian, yang penting barang sampai,” terangnya.

Selain itu, Pahlevi juga menyoroti minimnya visi jangka panjang dan keterbatasan dukungan investor. Ia menyebut bahwa pemerintah masih terfokus pada investor besar di lini pertama, sementara pelaku usaha di lini tiga dan empat justru terjepit kebijakan yang tidak jelas. 

"Dampaknya, lini kelima yaitu sektor perbankan, ikut terdampak karena kredit macet dan menurunnya minat pinjaman usaha," ucap Levi.

Sebagai solusi, Levi menyarankan agar pemerintah menetapkan acuan tarif dan biaya operasional logistik yang mempertimbangkan jarak tempuh, penggunaan bahan bakar, serta moda transportasi yang digunakan. 

“Misalnya, dari Jakarta ke Bandung 140 km, harus ada patokan harga per kilometer, termasuk hitungan subsidi solar. Kalau harga diatur, pajak akan seimbang dengan subsidi,” jelasnya.

Kondisi logistik yang tidak terintegrasi juga berimbas pada kepercayaan investor. Menurut Pahlevi, banyak perusahaan besar yang akhirnya membangun layanan logistik mereka sendiri seperti Shopee Express karena tidak yakin pengiriman bisa dilakukan dengan tepat waktu. 

“Kalau sistemnya terintegrasi, biaya bisa ditekan, efisiensi meningkat, dan investor akan lebih percaya,” ujarnya.

Pahlevi menekankan pentingnya kolaborasi antarpelaku industri logistik melalui sistem tarif tunggal dan registrasi armada yang transparan. Ia juga mendorong implementasi Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai kerangka koordinatif lintas sektor logistik.

Sebagai penutup, Pahlevi menegaskan bahwa BUMN seharusnya fokus pada inti bisnis masing-masing demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan hanya mengejar keuntungan semata. 

“Pos Indonesia fokus memperkuat lini logistik, Krakatau Steel fokus di baja. BUMN dibentuk untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mencari profit. Prinsipnya, pornya harus kuat,” tandasnya.

Ia memberikan peringatan keras bahwa tanpa pembenahan pada regulasi tarif dan kualitas layanan, terutama di lini awal distribusi (first mile), maka persaingan tidak sehat akan terus menggerus keberlangsungan pelaku usaha logistik. 

“Logistik itu ujung tombak perekonomian. Kalau pondasinya rapuh, distribusi nasional pun akan pincang,” pungkas Pahlevi.