Belajar dari Ulah TKI di Jepang: Menyoal Etika Lintas Budaya
INDUSTRY.co.id, Sebuah kabar meresahkan beredar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang menggantungkan asa untuk bekerja di Negeri Sakura. Isu mengenai sekelompok Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Jepang yang aksinya berbuntut panjang, menjadi cerminan betapa krusialnya pemahaman etika lintas budaya. Ulah mereka, yang mengenakan seragam pencak silat dan berkumpul dengan cara yang membangkitkan trauma kolektif masyarakat Jepang terhadap kelompok Yakuza di masa lalu, dikabarkan telah memicu keputusan fatal: Jepang mempertimbangkan untuk tidak lagi menerima TKI mulai tahun 2026.
Isu ini, terlepas dari validitas finalnya mengenai pemblokiran total, adalah pelajaran pahit yang harus kita telan bersama. Peristiwa iseng ini tidak saja sekadar berita, tetapi lebih dari itu justru menjadi sebuah tamparan keras yang mengingatkan kita pada pepatah luhur: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."
Insiden yang Menutup Gerbang Mimpi
Mari kita bedah duduk perkaranya. Dari sudut pandang kita di Indonesia, berkumpul bersama kawan sebangsa sambil mengenakan atribut budaya seperti seragam pencak silat adalah wujud kebanggaan dan cara mempererat solidaritas. Tidak ada niat jahat, hanya ekspresi identitas. Namun, di Jepang, konteks berbicara lebih keras daripada niat. Apa yang kita anggap sebagai ekspresi budaya, dipersepsikan sebagai meiwaku (è¿·æ), sebuah tindakan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain—sebuah pelanggaran etika sosial yang sangat serius di Jepang.
Di sinilah letak absennya sebuah etika krusial dalam hidup di perantauan: empati. Empati bukan sekadar kemampuan untuk bersikap sopan, melainkan kepekaan untuk memahami dan menghargai sejarah, memori kolektif, dan bahkan trauma sebuah masyarakat yang kita masuki. Sebelum bertindak, empati menuntun kita untuk bertanya: "Apakah aksi saya ini bisa disalahartikan dalam konteks budaya dan sejarah mereka?"
Masyarakat Jepang memiliki sejarah dan trauma tersendiri dengan kelompok Yakuza—sindikat kejahatan terorganisir yang citranya lekat dengan intimidasi melalui penampilan seragam, perkumpulan massa, dan unjuk kekuatan di ruang publik. Aksi iseng dan mungkin disengaja oleh kelompok TKI tersebut, terlepas dari niat baik untuk bersolidaritas, secara telak menunjukkan kegagalan dalam menerapkan empati ini. Tanpa disadari, mereka seolah "menari" di atas luka lama komunitas tuan rumah, menyentuh saraf ketakutan kolektif, dan memicu kembali alarm keamanan sosial. Inilah mengapa tindakan tersebut bukan hanya dianggap tidak pantas, tetapi menjadi meiwaku (è¿·æ) dalam level yang sangat serius—sebuah gangguan yang berakar dari ketidakpekaan terhadap perasaan dan masa lalu orang lain.
Ulah yang mungkin dianggap sepele atau "murahan" oleh sebagian orang ini, nyatanya memiliki efek domino yang menghancurkan. Satu tindakan keliru dari segelintir oknum telah mencoreng reputasi ribuan TKI lain yang bekerja dengan tekun dan menjaga nama baik Indonesia. Lebih parah lagi, ia berpotensi menutup gerbang mimpi bagi jutaan anak bangsa yang melihat Jepang sebagai tujuan untuk mengubah nasib.
Cermin Budaya: Etos Samurai dan Falsafah Tokugawa
Ironisnya, insiden ini terjadi di sebuah negara yang fondasi sosialnya dibangun di atas pilar respek, kesopanan, dan etos kerja yang luar biasa. Falsafah Bushido—jalan hidup samurai—meski tak lagi diterapkan secara harfiah, spiritnya mengkristal dalam budaya kerja dan interaksi sosial modern. Nilai-nilai seperti Gi (義 - Integritas), Rei (礼 - Rasa Hormat), dan Makoto (èª - Kejujuran) adalah napas kehidupan sehari-hari.
Era damai di bawah Keshogunan Tokugawa selama lebih dari 250 tahun semakin memantapkan tatanan sosial yang harmonis dan teratur. Masyarakat Jepang telah diajarkan untuk menempatkan kepentingan komunal di atas hasrat individual. Menjaga perasaan orang lain dan menghindari konfrontasi adalah wujud kebijaksanaan tertinggi. Tak ayal bangsa Jepang dikenal memiliki fondasi norma dan religi yang menguatkan mereka dimanapun mereka ada dan berkarya.
Ketika para TKI kita datang ke Jepang, mereka tidak hanya memasuki sebuah negara maju secara teknologi dan ekonomi, tetapi juga sebuah ekosistem budaya yang sangat berbeda. Menyesuaikan perilaku bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan menunjukkan kecerdasan emosional dan rasa hormat yang mendalam.
Duta Bangsa: Tanggung Jawab di Pundak Setiap Perantau
Idealnya, setiap Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, baik sebagai pekerja, pelajar, maupun turis, secara otomatis adalah duta bangsa. Perilaku kita menjadi cerminan dari 270 juta lebih rakyat Indonesia. Jangan sampai gara-gara, nila setitik benar-benar dapat merusak susu sebelanga.
Kasus yang dipicu oleh segelintir TKI di Jepang ini harus menjadi titik balik. Pemerintah, melalui BNP2TKI dan KBRI, perlu mengintensifkan pembekalan pra-keberangkatan. Pembekalan ini tidak boleh hanya sebatas teknis pekerjaan, tetapi harus menekankan secara mendalam mengenai:
1. Kecerdasan budaya (Cultural Intelligence). Pembelajaran ini adalah upaya memahami norma sosial, gestur, apa yang dianggap sopan dan tidak sopan di negara tujuan. Pembelajaran di sekolah atau kampus dapat menyisipkan nilai-nilai fundamental ini kepada calon lulusan, apalagi lulusan yang berniat untuk menjadi TKI di luar negeri.
2. Manajemen konflik dan persepsi untuk menanamkan bagaimana cara mengekspresikan identitas budaya tanpa menimbulkan persepsi negatif atau mengganggu ruang publik. Ketika kita berada di tempat baru, sensitivitas akan perilaku dan gestur yang memicu konflik menjadi pegangan utama. Karena perbedaan berpotensi memicu konflik yang tidak singaja maka sebagai orang luar yang datang ke sebuah negara kita perlu sadar diri bahwa kita harus pandai-pandai membawa diri. Lagi-lagi pesan bijak “pandai-pandailah meniti buih niscaya selamat sampai seberang sebagai tujuan”.
3. Studi kasus yang diharapkan dapat memaparkan contoh-contoh nyata kesuksesan dan kegagalan TKI di masa lalu sebagai pembelajaran. Kita perlu belajar banyak dari pengalaman. Tidak salahnya belajar sejarah dan karakteristik masyarakat lokal negara tujuan.
Seindah dan semulia apapun pesan yang ditanamkan, pada akhirnya, kesadaran harus datang dari individu. Karena mimpi besar untuk bekerja di luar negeri harus diiringi dengan tanggung jawab yang besar pula. Jangan sampai, demi kebanggaan sesaat sebuah kelompok kecil, kita mengorbankan kesempatan emas bagi generasi berikutnya.
Pepatah "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" bukanlah slogan usang. Ia adalah kompas etika yang memastikan kita bisa diterima, dihormati, dan berhasil di mana pun kita berada, sambil tetap membawa nama baik Indonesia di dalam hati dan tindakan. Semoga ancaman blacklistnya TKI ke Jepang akibat ulah sekelompok TKI tersebut, dapat dipertimbangkan kembali oleh pihak pemerintah Jepang mengingkat hubungan baik yang telah terjalin antara Jepang dan Indonesia lebih dari 60 tahun ini serta membantu stakeholder TKI di Indonesia membenahi langkah-langkah bijak dan antisipatif.
Dr. Don Bosco Doho, Dosen Etika Bisnis pada Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta & Certified Guru Etos Indonesia