Kemenperin: Industri Wastra Nusantara Jawab Kebutuhan Fesyen Berkelanjutan

Oleh : Candra Mata | Selasa, 22 April 2025 - 13:42 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Industri wastra Indonesia berpotensi untuk terus tumbuh dan semakin diminati konsumen lokal dan internasional. Sebab, industri wastra Nusantara, seperti batik, tenun, dan songket, dianggap mampu merespons kebutuhan akan menjamurnya industri slow fashion di tengah gencarnya tren fast fashion yang berdampak negatif terhadap lingkungan.

“Wastra Nusantara hadir bukan hanya sebagai produk budaya, melainkan juga sebagai solusi. Proses pembuatannya yang sarat nilai kearifan lokal, penggunaan bahan alami, serta filosofi yang terkandung di dalamnya menjadikan wastra sangat sejalan dengan konsep slow fashion, yakni fesyen yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan keadilan bagi setiap pihak,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (21/4).

Guna meningkatkan pengetahuan dan implementasi pelaku industri wastra pada konsep keberlanjutan, Direktorat Jenderal IKMA Kemenperin menjalin kerja sama dengan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) untuk menggelar webinar dengan tema "Cinta Wastra Nusantara: Peran IKM Wastra dalam Fesyen Berkelanjutan” pada 16 April 2025. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian acara Road to HUT Dekranas ke-45 yang telah diresmikan oleh Ketua Harian Dekranas pada 11 Maret 2025 yang lalu.

Dirjen IKMA mengungkapkan, Kemenperin dan Dekranas memberikan perhatian khusus terhadap industri wastra di Indonesia lantaran industri ini sangat erat dengan konsep berkelanjutan yang tengah digandrungi konsumen di pasar global. “Kesadaran konsumen terhadap pentingnya perubahan gaya hidup dalam mendorong keberlanjutan lingkungan dan kondisi alam, mengarahkan pada tren slow fashion yang bertolak belakang dengan fast fashion,” ungkapnya.

Menurut Dirjen IKMA, tren fast fashion yang terjadi saat ini merupakan bagian dari gaya hidup pasar yang cepat, dinamis, serta kemudahan konsumen dalam mengakses informasi digital dan pasar online atau marketplace. Perubahan ini juga menyebabkan kebiasaan membeli baju yang diproduksi secara massal, dengan bahan yang kurang ramah lingkungan, sehingga berdampak menjadi limbah solid terhadap lingkungan.

“Selain itu, saat ini industri fesyen dituntut untuk menjawab isu-isu keberlanjutan, yang merupakan dampak dari berbagai faktor yang saling terkait seperti ekonomi, lingkungan dan sosial. Arah gerak dunia kini tertuju pada fesyen yang tidak hanya memikat secara visual, namun juga bertanggung jawab secara ekologis dan etis,” tegas Reni.

Direktur IKM Kimia, Sandang dan Kerajinan Budi Setiawan menambahkan, konsep slow fashion menawarkan alternatif tren fesyen yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, produksi beretika, kelestarian lingkungan, produksi yang lebih lambat dan terencana, serta mempromosikan nilai etis dalam rantai pasok.

“Prinsip ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah dan konsumsi energi, tetapi juga membantu memastikan bahwa para pekerja di sektor mode mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang adil,” jelasnya.

Di Indonesia, lanjut Budi, konsep slow fashion memiliki potensi besar untuk tumbuh, terutama dengan keberadaan perajin lokal dan penggunaan bahan baku alami yang kaya, seperti produk wastra yang meliputi tenun dan batik. 

“Wastra, sebagai produk mode tradisional Indonesia, memiliki karakteristik yang sangat sesuai dengan prinsip slow fashion. Proses pembuatan wastra yang perlu ketelitian dan memakan waktu lama menjadikannya simbol kualitas dan keunikan yang mendukung keberlanjutan,” imbuhnya.

Di samping itu, pelaku industri fesyen, khususnya industri wastra sebetulnya dapat menerapkan konsep ramah lingkungan melalui beberapa cara, di antaranya melalui penggunaan bahan baku berkelanjutan seperti bahan organik dan bahan daur ulang, mengoptimalkan proses produksi, serta mengolah limbah produksi. 

“Untuk memperkuat ekosistem industri fesyen berkelanjutan yang ramah lingkungan, perajin juga dapat ikut serta mengedukasi konsumen tentang pentingnya konsep tersebut,” ujar Budi. Diharapkan, melalui pelaksanaan webinar, dapat memberikan asupan pengetahuan bukan saja dari para perajin atau IKM wastra, tetapi masyarakat umum sebagai konsumen untuk dapat bijak saat memutuskan membeli dan mempertimbangkan segala aspek yang unggul pada atribut produk wastra dan kriya di Indonesia.

Desainer sekaligus Anggota Komisi VII DPR, Samuel Wattimena yang menjadi salah satu narasumber pada acara webinar mengungkapkan, kampanye wastra Nusantara sebagai salah satu tren fesyen berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip slow fashion, tak hanya mendorong konsumen untuk lebih menghargai produk wastra dan proses pembuatannya. 

“Ini tentu akan memperkuat identitas lokal dalam panggung mode dunia. Sebab, industri wastra tradisional terbukti membuka kesempatan lapangan kerja bagi perajin lokal, meningkatkan ekspor nasional, dan mendorong perekonomian daerah,” ungkapnya.

Samuel juga mendorong pemerintah pusat dan daerah serta Dekranas untuk terus mempererat sinergi dalam mengembangkan kemampuan perajin wastra di berbagai daerah, serta akses pengadaan bahan baku yang ramah lingkungan, dan akses promosinya.