Bendera ‘Makar’ One Piece dan Paradoks Komunikasi Publik di Era Persatuan
INDUSTRY.co.id, Atas nama persatuan dan upaya mewujudkan asta cita Pemeritahan Prabowo-Gibran, segala bentuk kegaduhan dieliminasikan sedemikian rupa. Diksi dari Batang Tubuh UUD 1945 yang sudah lama hening mengenai amnesti dan abolisi bangkit kembali di ruang public.
Awareness para generasi milenial, generasi Z dan generasi Alpa terpicu. Trending topic dalam sepekan terakhir Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto yang mendapat “berkah” hak prerogatif Presiden bisa jadi akan memunculkan kegaduhan baru. Tapi, seruan Megawati sebagai pemimpin partai pemenang pemilu untuk mendukung pemerintahan Prabowo tanpa eksplisit menyebut Gibran adalah buah dari pemberian amnesti tadi.
Amnesti yang secara sederhana diartikan sebagai pengampunan menunjukkan bahwa ada pengakuan bersalah tapi diampuni kesalahannya. Sementara abolisi (abolitio: Latin, abolitie: Belanda dan abolish:Inggris ) adalah penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seorang terpidana yang bersalah melakukan delik, yang diberikan oleh presiden. Kedua pengampunan ini menimbulkan pro dan kontra yang kiranya tidak menimbulkan kegaduhan baru.
Pada saat yang nyaris bersamaan, sebuah insiden imajiner namun sarat makna terjadi: bendera kelompok bajak laut Topi Jerami dari serial populer One Piece berkibar berdampingan dengan Sang Saka Merah Putih. Respons pemerintah datang seketika dan keras: tindakan itu dicap sebagai bentuk makar. Di saat yang sama, Presiden Prabowo Subianto menyerukan persatuan dan meminta semua pihak menghindari kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas bangsa.
Fenomena ini, meskipun fiktif, menjadi cermin yang relevan untuk menyoroti disonansi dalam etika komunikasi publik pemerintah. Terlebih ketika dihadapkan pada isu yang jauh lebih substansial dan riil menciptakan kegaduhan, seperti wacana pemberian amnesti dan abolisi bagi para tersangka korupsi.
Lantas, bagaimana idealnya pemerintah menyikapi "pengibaran bendera One Piece" ini dari sudut pandang etika komunikasi publik, dan apa yang salah dari pendekatan yang ada sekarang?
Salah Membaca Simbol, Gagal Membangun Dialog
Langkah pertama dalam etika komunikasi publik yang efektif adalah kemampuan untuk memahami audiens dan konteks. Menganggap bendera Jolly Roger kru Topi Jerami—sebuah simbol fiksi yang bagi jutaan penggemarnya di Indonesia merepresentasikan kebebasan, persahabatan, dan perlawanan terhadap otoritas tiran dalam sebuah cerita—sebagai ancaman makar adalah sebuah kegagalan fundamental dalam membaca simbol budaya populer.
Tindakan ini menyamakan ekspresi fandom atau subkultur dengan gerakan separatis. Dari perspektif komunikasi, ini adalah pesan yang salah sasaran dan kontra-produktif. Alih-alih meredam, respons represif seperti ini justru menciptakan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu ada.
Sikap yang Ideal Seharusnya:
Pemerintah yang bijak akan memilih pendekatan dialogis dan edukatif, bukan represif. Beberapa opsi yang lebih etis dan efektif seperti pendekatan edukatif dengan mengeluarkan imbauan simpatik yang mengakui kreativitas anak muda, sambil mengingatkan tentang pentingnya menempatkan simbol negara, Merah Putih, pada posisi yang paling terhormat sesuai undang-undang. Pesannya bukan "Anda makar!", melainkan "Kami menghargai semangatmu, mari bersama kita junjung tinggi simbol pemersatu kita."
Selain edukatif, pendekatan humoris dan merangkul dapat diambil sebagai jalan tengah. Bayangkan jika seorang juru bicara pemerintah atau bahkan presiden sendiri merespons dengan jenaka, "Wah, rupanya kru Topi Jerami sudah sampai di Indonesia! Selamat datang, tapi ingat, di negeri ini kaptennya adalah Merah Putih." Respons seperti ini tidak hanya meredakan potensi ketegangan tetapi juga membangun citra pemerintah yang humanis, modern, dan dekat dengan denyut nadi masyarakatnya.
Respons gegabah dengan label "makar" menunjukkan komunikasi satu arah, di mana pemerintah memaksakan interpretasinya tanpa mau memahami maksud audiens. Ini adalah benih dari ketidakpercayaan publik. Kemana, tim komunikasi kepresidenan yang jumlahnya seratusan orang itu lalu dimana humas pemerintah yang seharusnya diperankan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital?
Paradoks Seruan Persatuan dan Standar Ganda
Di sinilah letak inti persoalannya. Pemerintah menyerukan persatuan dan meminta masyarakat menghindari "kegaduhan", namun pada saat yang sama, justru menjadi pemicu kegaduhan atas isu simbolik yang sepele. Ini menciptakan sebuah paradoks.
Lebih jauh lagi, paradoks ini menjadi semakin tajam ketika disandingkan dengan isu yang benar-benar mengusik rasa keadilan publik: wacana pemberian amnesti dan abolisi bagi tersangka korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang secara nyata merongrong fondasi negara, mengkhianati amanat rakyat, dan menciptakan kerugian finansial yang masif. Kegaduhan yang timbul dari wacana ini di tengah masyarakat sipil dan jagat maya adalah nyata, beralasan, dan substansial.
Ketika pemerintah bereaksi keras pada bendera kartun namun terkesan akomodatif pada pelaku kejahatan kerah putih, publik membaca adanya standar ganda yang mencolok. Etika komunikasi publik runtuh ketika pesan tidak lagi konsisten. Pesan "jaga persatuan" terdengar hampa jika tidak diiringi dengan tindakan yang adil dan berpihak pada kepentingan publik yang lebih luas.
Apa yang Salah dengan Etika Komunikasi Publik Saat Ini?
Berdasarkan analisis di atas, beberapa masalah mendasar dalam etika komunikasi publik pemerintah dapat diidentifikasi: Pertama, terjadi inkonsistensi pesan dan Tindakan. Terdapat jurang antara retorika (persatuan, anti-kegaduhan) dan praktik (reaksi berlebihan pada hal trivial, potensi kompromi pada kejahatan serius). Kredibilitas pemerintah tergerus ketika ucapannya tidak selaras dengan tindakannya. Kedua, kegagalan membedakan ancaman riil dan Simbolik: Pemerintah tampak lebih reaktif terhadap ancaman simbolik yang tidak membahayakan kedaulatan, sementara lamban atau bahkan permisif terhadap ancaman riil seperti korupsi yang merusak sistem dari dalam. Ketiga, komunikasi otoriter vs. dialogis. Alih-alih membuka ruang dialog untuk memahami fenomena sosial, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan "top-down" yang mendikte, melabeli, dan menghakimi. Ini mematikan partisipasi publik dan menumbuhkan antipati. Keempat, miskin kecerdasan emosional dan kultural. Nampanya ada ketidakmampuan untuk terhubung dengan bahasa dan simbol yang digunakan oleh generasi baru menunjukkan adanya jarak antara pemerintah dan warganya.
Menuju Komunikasi Publik yang Membangun Kepercayaan
Kasus hipotetis "makar bendera One Piece" adalah pengingat keras bahwa stabilitas dan persatuan sejati tidak dibangun di atas ketakutan atau respons represif terhadap hal-hal sepele. Ia dibangun di atas fondasi kepercayaan. Kepercayaan itu hanya bisa tumbuh jika komunikasi publik pemerintah dijalankan secara etis: konsisten, adil, proporsional, dan dialogis.
Pemerintah harus fokus pada sumber "kegaduhan" yang sesungguhnya—ketidakadilan, korupsi, dan kebijakan yang melukai rasa keadilan publik. Dengan bersikap tegas pada ancaman riil dan bijak dalam menyikapi dinamika budaya populer, pemerintah tidak hanya akan berhasil meredam kegaduhan, tetapi juga secara aktif membangun persatuan yang otentik dan berkelanjutan**
Dr. Don Bosco Doho, Dosen Etika dan Filsafat Komunikasi, Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta