Like dan Amin Berbaur dalam Satu Linimasa Jadi Wajah Baru Realitas Iman di Flobamora, Selamat Tinggal Lonceng Gereja
INDUSTRY.co.id, Flores-Samudra Baru yang Tak Terhindarkan. Di beranda media sosial seorang pemuda di pelosok Sumba, jempolnya lincah menekan tombol 'Like' pada sebuah video hiburan, dan beberapa detik kemudian, jarinya mengetik 'Amin' pada sebuah unggahan doa dari parokinya.
Fenomena ini, di mana 'Like' dan 'Amin' bertemu dan berbaur dalam satu linimasa, bukan lagi sekadar gejala, melainkan telah menjadi wajah baru realitas iman di Flobamora. Era digital telah menerjang masuk tanpa permisi, mengubah lanskap komunikasi dan perjumpaan manusia secara demikian drastis.
Lonceng gereja yang panggilannya menggema agung di lembah-lembah Flores, kini harus bersaing—atau bersanding—dengan notifikasi WhatsApp yang bergetar personal di saku seorang nelayan di Pante Ende. Panggilan komunal yang terikat ruang dan waktu kini bertemu dengan arus informasi yang bersifat personal, instan, dan tanpa batas.
Ini bukanlah sebuah pilihan yang bisa diterima atau ditolak oleh Gereja; ini adalah samudra baru yang luas dan terkadang bergelombang, di mana seluruh umat kini tengah berlayar. Mengabaikannya berarti membiarkan umat berlayar tanpa kompas, sementara menolaknya sama dengan mencoba membendung air pasang dengan tangan kosong.
Maka dari itu, tulisan ini tidak hendak berdiri di salah satu dermaga—menghakimi digitalisasi sebagai berkat mutlak atau kutuk total. Alih-alih menjadi hakim yang tendensius, artikel ini mengajak kita untuk menjadi navigator yang bijaksana. Tujuannya adalah membentangkan peta samudra digital ini bersama-sama, secara jujur dan jernih. Kita akan menandai di mana letak pelabuhan-pelabuhan yang aman dan penuh peluang untuk menjangkau jiwa-jiwa yang jauh.
Namun, kita juga akan waspada menandai di mana adanya karang-karang tajam dan arus bawah yang berbahaya, yang berisiko mendangkalkan iman dan meminggirkan mereka yang tak punya akses. Pada akhirnya, dengan peta ini di tangan, kita akan mencari jawaban atas pertanyaan paling esensial: di manakah denyut jantung pastoral—perjumpaan yang otentik, pendampingan yang tulus, dan persekutuan yang hangat—dapat kita temukan dan bahkan kita perkuat di tengah riuh rendahnya dunia maya ini? Mari kita mulai perjalanan ini.
Berkah di Ujung Jari
Di sini kita memetakan sisi positif digitalisasi sebagai alat anugerah untuk misi Gereja. Teknologi informasi memungkinkan aktivitas pastoral yang melintasi batas geografis. Di tanah kepulauan seperti NTT, pastoral digital adalah jawaban atas lautan dan gunung yang memisahkan. Ia menjadi jembatan virtual yang menghubungkan umat di pulau terpencil, para perantau yang rindu kampung halaman, dan mereka yang sakit atau lanjut usia di rumah, dengan pusat kehidupan paroki. Ia adalah perwujudan Gereja yang merobohkan tembok-tembok fisik untuk menjangkau setiap jiwa.
Revolusi teknologi informasi merupakan mimbar baru untuk generasi baru. Artinya, digitalisasi adalah kesempatan emas untuk evangelisasi baru. Instagram, TikTok, dan YouTube adalah "Areopagus" modern—alun-alun publik tempat kaum muda berkumpul. Gereja dapat hadir di sana dengan konten yang kreatif, relevan, dan otentik tidak sedang "ikut-ikutan tren", melainkan sedang menjalankan misi perutusan-Nya untuk berbicara dalam semua bahasa, termasuk bahasa digital generasi masa kini.
Era digitalisasi memungkinkan diperluasnya persekutuan (koinonia). Komunitas iman tidak lagi terbatas pada mereka yang bertemu di gedung gereja. Grup doa via WhatsApp, kelompok pendalaman Alkitab via Zoom, dan forum diskusi online menciptakan kantong-kantong persekutuan baru yang cair dan inklusif. Ini adalah kesempatan untuk membangun "Gereja tanpa dinding" dalam arti yang sesungguhnya.
Jebakan di Dunia Maya
Tantangan terdalam bagi iman Katolik dan Kristen adalah devaluasi kehadiran fisik (embodiment). Pastoral digital berisiko mengubah iman dari sebuah perjumpaan sakramental dan komunal menjadi "produk konten" yang dikonsumsi secara individual dan pasif. Umat bisa menjadi penonton Misa, bukan peserta perayaan Ekaristi. Pertanyaannya: saat iman menjadi tontonan, apakah ia masih bisa mentransformasi?
Sesuatu yang perlu diakui bahwa ada risiko 'gereja elit' dan kesenjangan digital. Di NTT dan belahan lain Indonesia misalnya, tidak semua umat memiliki akses setara terhadap teknologi. Ketergantungan penuh pada platform digital dapat berisiko menciptakan dua kelas umat: "umat digital" yang terlayani dengan baik dan "umat analog" (lansia, masyarakat di pedalaman, keluarga miskin) yang semakin tertinggal. Ini adalah isu keadilan pastoral yang sangat serius.
Selain itu ada ancaman spiritualitas dangkal. Lanskap digital diketahui dan dirasakan sangat menyukai kecepatan, kesederhanaan, dan sensasi. Ini bisa melahirkan "spiritualitas seukuran kutipan"—iman yang dangkal, emosional sesaat, dan tidak tahan uji. Pastoral digital ditantang untuk mampu membimbing umat dari lautan informasi yang dangkal menuju samudra hikmat yang mendalam.
Arah Baru: Menuju Pastoral Hibrida yang Bijak
Membaca peta peluang dan tantangan di atas, jelaslah bahwa masa depan pastoral bukanlah "digital ATAU tradisional", melainkan "digital DAN tradisional". Arah baru yang paling mungkin dan bijaksana adalah Pastoral Hibrida. Artinya, teknologi digital tidak dilihat sebagai pengganti, melainkan sebagai perpanjangan tangan dan pelengkap dari pastoral tatap muka yang tak tergantikan.
Tujuannya adalah menciptakan sebuah ekosistem pastoral yang terintegrasi. Misa meriah di gereja dapat diperkaya dengan katekese online di malam hari. Kelompok doa di lingkungan dan Umat Basis yang hangat dihidupkan dengan grup WhatsApp untuk saling mendoakan sepanjang pekan.
Media sosial tidak menjadi tujuan, tetapi menjadi "halaman gereja" virtual untuk menyapa dan mengundang orang masuk ke dalam persekutuan yang nyata. Pada akhirnya, ukuran keberhasilan pastoral digital bukanlah jumlah viewers, likes, atau subscribers, melainkan apakah ia berhasil memperdalam iman, memperkuat komunitas di dunia nyata, dan membuat Warta Gembira semakin relevan bagi setiap pribadi, di mana pun mereka berada. Inilah seni menggembalakan di abad ke-21.
Jika dalam konteks SDGs (Sustainable Development Goals) berkomitmen no one left behind (tidak ada seorangpunya yang tertinggal) maka gereja modern mengusahakan "Berjalan bersama, tanpa ada satu pun yang tertinggal." Gereja tengah mengakomodasi kaum lansia dan mereka yang tidak melek teknologi bukanlah sekadar tugas teknis, melainkan sebuah panggilan iman yang fundamental. Jika pastoral digital hanya melayani mereka yang sudah terkoneksi, maka ia bukan lagi pastoral, melainkan sebuah layanan eksklusif.
Berikut adalah solusi-solusi konkret yang dapat ditawarkan, yang mengubah pastoral digital dari potensi pemecah belah menjadi jembatan pemersatu.
Prinsip Dasar: Dari Digital ke Personal, Bukan Sebaliknya
Tujuan utamaa pastoral digital bukanlah memaksa semua orang untuk menjadi digital, melainkan menggunakan efisiensi digital guna memperkuat sentuhan personal dan komunal yang analog (non-digital). Teknologi harus melayani manusia, bukan manusia yang menjadi budak teknologi.Oleh karena itu ada beberapa tawaran praktis dan langsung yang dapat dipertimbangkan untuk tingkat paroki dan lingkungan.
1. Gerakan "Cetak dan Sebarkan": Jembatan Analog dari Konten Digital. Apa itu? Konten digital terbaik—seperti rangkuman khotbah Pastor, renungan harian, atau warta paroki—dicetak dalam format yang sederhana dan mudah dibaca (misalnya, huruf besar). Lalu, bagaimana caranya? Para pengurus Kelompok Basis Gerejawi (KBG)/Lingkungan atau anak-anak muda dari OMK (Orang Muda Katolik) setiap minggunya bertugas mencetak dan mengantarkannya dari rumah ke rumah, khusus untuk para lansia atau mereka yang tidak memiliki gawai. Momen pengantaran ini menjadi kesempatan untuk menyapa dan berbincang sejenak.
2. "Pos Rindu Komunitas" sebuah Titik Nonton Bareng Terbatas.
Jika ada Misa atau acara penting yang disiarkan secara live streaming, ciptakan satu atau dua "titik nonton bareng" di setiap lingkungan. Bisa di rumah ketua lingkungan atau di balai sederhana. Dengan demikian, beberapa lansia yang tinggal berdekatan diundang untuk berkumpul (dengan tetap menjaga protokol kesehatan jika diperlukan). Yang terpenting bukanlah tontonannya, melainkan momen kebersamaan setelahnya: minum teh atau kopi bersama, berbagi cerita, dan saling menguatkan. Ini mengubah isolasi digital menjadi persekutuan komunal.
3. Memanfaatkan Kembali Media Konvensional: Radio dan Telepon.
Para pelaku pastoral dapat bekerja sama dengan stasiun radio lokal untuk menyiarkan Misa mingguan, doa rosario, atau renungan singkat. Radio adalah teknologi yang sangat merakyat, murah, dan mudah diakses oleh lansia tanpa memerlukan literasi visual. Dapat juga diterapkan Pastoral Telepon dengan cara membentuk tim relawan pastoral yang secara rutin menelepon para lansia. Sebuah panggilan telepon sederhana yang menanyakan "Apa kabar, Oma/Opa?" seringkali jauh lebih bermakna daripada seratus konten digital. Sebab, suara manusia yang didengar secara langsung adalah obat rindu yang mujarab.
Selain solusi praktis di atas adapula tawaran atau solusi berbasis relasi dan pemberdayaan (tingkat komunitas). Kedua tawaran berikut dapat dipertimbangkan yaitu:
a. Program "Sahabat Digital Lansia": Solidaritas Antargenerasi, yaitu sebuah gerakan di mana satu orang muda dipasangkan dengan satu atau dua lansia di lingkungannya. Caranya adalah tugas orang muda ini bukan untuk "mengajari", melainkan untuk "mendampingi". Mungkin seminggu sekali ia datang berkunjung, memperlihatkan rekaman Misa di gawainya, membantu melakukan video call dengan anak/cucu di perantauan, atau sekadar membacakan warta paroki yang ia terima di WhatsApp. Ini adalah perwujudan sinodalitas yang paling indah: generasi yang cepat digitalnya dengan sengaja memperlambat langkah untuk berjalan bersama generasi yang lebih sepuh.
b. Pelatihan Digital yang Sabar dan Penuh Kasih, melalui lokakarya kecil dan sukarela bagi para lansia yang ingin belajar. Materinya bisa menyangkat hal-hal atau tema yang sangat dasar: cara membuka pesan WhatsApp, cara menjawab panggilan video, cara mencari lagu rohani di YouTube. Kunci utamanya adalah kesabaran, tanpa penghakiman, dan dilakukan oleh sesama umat, bukan oleh instruktur formal. Tujuannya bukan menjadikan mereka ahli, tetapi memberi mereka rasa percaya diri dan mengurangi rasa terasing.
Penegasan Reflektif dan Profetis untuk Otoritas Gereja
Dengan menerapkan solusi-solusi atau tawaran-tawaran ini, Gereja tidak hanya mengatasi masalah teknis, tetapi juga memberikan kesaksian iman yang mendalam. Ia menunjukkan bahwa efisiensi digital tidak boleh mengorbankan afeksi pastoral. Kecepatan informasi tidak lebih penting daripada kesabaran dalam pendampingan. Gereja yang sinodal adalah gereja yang berani mengkalibrasi ulang kemajuan teknologinya dengan denyut jantung umatnya yang paling rentan, memastikan bahwa setiap inovasi diukur dengan satu pertanyaan utama: apakah ini membuat kita semakin dekat satu sama lain sebagai satu tubuh Kristus?
Pada akhirnya, pastoral di era digital ini menjadi ujian sejati bagi Gereja. Apakah ia akan terbawa arus untuk membangun menara Babel digital yang megah namun hanya bisa diakses oleh sebagian orang? Ataukah ia akan, seperti Yesus, dengan sengaja meninggalkan sembilan puluh sembilan domba yang sudah "online" untuk mencari dan merengkuh satu domba yang masih "offline", memastikan bahwa di meja perjamuan Tuhan, baik yang digital maupun yang analog, semua mendapat tempat dan merasa di rumah. Inilah panggilan sinodal kita.
Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-59 pada 1 Juni 2025 kemarin bertemakan “Berbagilah dengan kelembutan harapan yang ada di dalam hatimu”. Paus Fransiskus mendesak para komunikator dalam konteks ini termasuk para pewarta sabda, pelaku pastoral untuk menggunakan platform mereka untuk menginspirasi harapan. Paus menyerukan semua orang untuk menjadi “Komunikator Harapan”. Ini berarti kabar gembira harus disampaikan dalam bahasa yang lembut, menghindari Bahasa yang agresif, menolak ujaran kebencian dan retorika yang merendahkan martabat orang lain. Sebab peran sejati komunikasi dalam kehidupan manusia adalah untuk menmbangun dunia yang lebih baik.
Pandemi COVID-19 bertindak sebagai akselerator masif yang memaksa Gereja, baik Katolik maupun Protestan, untuk terjun ke dunia digital. Fenomena yang tadinya bersifat sporadis dan inisiatif pribadi, kini menjadi bagian yang terintegrasi, meskipun dengan tingkat adopsi yang beragam.
Pastoral Digital di Indonesia
Pastoral digital telah diterapkan secara nyata di Indonesia. Ini bukan lagi sebuah konsep, melainkan sebuah realitas yang terus berkembang. Faktanya adalah sebagai berikut:
1. Misa & Ibadah Online: Data Jangkauan yang Masif
Ini adalah bentuk pastoral digital yang paling terlihat dan memiliki data jangkauan paling jelas. Ambil sebuah contoh nyata di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Sejak pandemi, KAJ melalui kanal YouTube "Komsos KAJ" secara rutin menyiarkan Misa harian dan mingguan dari Gereja Katedral. Jangkauannya luar biasa. Sebuah Misa Harian saja bisa ditonton oleh 15.000 - 25.000 viewers. Untuk Misa Hari Minggu atau Hari Raya besar, angkanya bisa melonjak hingga 100.000 - 300.000 viewers. Data ini menunjukkan adanya "umat digital" dalam jumlah masif yang mengikuti perayaan Ekaristi dari rumah mereka.
Ada pula Gereja Kristen Indonesia (GKI) seperti GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, memiliki kanal YouTube resmi yang menyiarkan ibadah mingguan. Contohnya, GKI Pondok Indah atau GKI Samanhudi di Jakarta, secara konsisten memiliki ribuan viewers setiap minggunya. Data viewers dari dua contoh nyata di atas membuktikan adanya kebutuhan spiritual nyata yang dilayani oleh platform digital. Ini bukan sekadar "hiburan rohani", melainkan sarana utama bagi mereka yang tidak bisa hadir secara fisik (karena sakit, lansia, jarak, atau berada di luar negeri) untuk tetap terhubung dengan pusat iman mereka. Ini adalah data kuantitatif yang membantah anggapan bahwa pastoral digital hanya untuk segelintir orang.
2. Katekese dan Pendalaman Iman: Demokratisasi Pengetahuan
Pastoral digital telah mendobrak batasan akses terhadap pengetahuan iman. Kini berkembang pesat Podcast dan Kanal YouTube Edukatif. Banyak anyak pastor, pendeta, dan teolog kini memiliki kanal pribadi yang sangat populer. Contohnya, kanal "Romo Ndeso" atau "Rm. Jost Kokoh" di kalangan Katolik, atau kanal-kanal pendeta seperti Pdt. Esra Soru, Pdt Yandi STh di kalangan Kristen. Mereka membahas topik-topik iman yang kompleks dengan bahasa yang mudah dipahami, menjangkau ratusan ribu subscribers.
Selain itu, ada kursus online yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga seperti Pusat Pastoral Samadi di Jakarta atau lembaga-lembaga teologi lainnya kini menawarkan kursus pendalaman iman secara online, memungkinkan umat dari seluruh Indonesia (termasuk NTT) untuk belajar langsung dari para ahli tanpa harus datang ke Jakarta.
Semua Ini adalah bukti bahwa pastoral digital mendemokratisasi akses terhadap teologi dan katekese. Umat di daerah terpencil kini bisa mendapatkan pengajaran berkualitas yang dahulu hanya bisa diakses di kota-kota besar. Ini adalah upaya nyata Gereja untuk meningkatkan pemahaman iman umatnya dengan pola baru.
3. Konseling dan Pendampingan Personal: Sentuhan Pribadi di Ruang Digital
Meskipun paling menantang, pastoral konseling juga mulai merambah dunia digital. Misalnya, ada layanan konseling dimana beberapa paroki dan sinode mulai menyediakan layanan konseling pastoral melalui WhatsApp atau panggilan video terjadwal. Ini sangat membantu umat yang merasa ragu untuk datang langsung atau yang membutuhkan respons cepat dalam situasi krisis.
Komunitas-komunitas kategorial (misalnya, kelompok doa untuk pasangan yang merindukan anak, komunitas penderita penyakit kronis) menggunakan grup Facebook atau WhatsApp tertutup sebagai ruang aman untuk saling berbagi dan menguatkan, dipandu oleh seorang pembimbing rohani.
Ini membuktikan bahwa teknologi, jika digunakan dengan bijaksana, tidak selalu mendangkalkan relasi. Ia bisa menjadi pintu masuk untuk pendampingan personal yang lebih dalam. Bagi banyak orang, terutama generasi muda, memulai percakapan sulit melalui teks atau chat terasa lebih aman sebelum beralih ke pertemuan tatap muka.
4. Riset dan Arah Pastoral Berbasis Data
Gereja di Indonesia sudah mulai melakukan refleksi serius dan berbasis data mengenai fenomena ini. Salah satu fokus dalam Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta adalah "Pelayanan Digital". Ini menunjukkan adanya pengakuan di level keuskupan bahwa pastoral digital bukan lagi pilihan, melainkan sebuah mandat yang harus dijalankan secara terstruktur. Mereka bahkan memiliki Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) yang sangat aktif memproduksi konten dan memberikan pelatihan. Di saat yang sama, Keuskupan Bogor mencanangkan Pastoral Berbasis Data. Dari data yang ada setiap paroki memberikan perhatian khusus kepada komunitas atau kelompok kategorial yang menjadi kekhasan di paroki tersebut. Ini berkaitan dengan karakteristik dan peta demografi umat di setiap paroki. Untuk mengatasi kegamangan seputar pastoral digital, berbagai jurnal teologi di Indonesia, seperti "GEMA TEOLOGIKA" (Universitas Kristen Duta Wacana) atau jurnal-jurnal dari sekolah tinggi filsafat dan teologi Katolik, telah mempublikasikan riset-riset mengenai tantangan dan peluang Gereja di era digital.
Jadi, upaya Gereja tidak hanya berhenti pada praktik, tetapi sudah masuk ke level refleksi teologis dan perencanaan strategis. Fakta ini membuktikan keseriusan institusi dalam mengadopsi pola baru ini, bukan sebagai reaksi sesaat, tetapi sebagai bagian dari visi jangka panjang Gereja dalam menjawab tanda-tanda zaman.
Penutup
Perdebatan yang pasti sengit, eksperimen yang terkadang canggung, dan pertanyaan-pertanyaan mendasar seputar pastoral digital yang kini bergema di seluruh Flobamora sesungguhnya bukanlah sebuah lamunan kosong atau tanda ketertinggalan zaman. Sebaliknya, ini adalah bukti paling otentik bahwa Gereja di Nusa Tenggara Timur sedang berpartisipasi secara aktif dalam sebuah ziarah global. Ini adalah keikutsertaan dalam sebuah gerakan besar yang sedang membentuk ulang wajah Gereja di seluruh Indonesia, dari kota metropolitan Jakarta hingga pedalaman Papua, dan bahkan di seluruh dunia. Pertanyaan tentang bagaimana menyeimbangkan sakramen fisik dengan komunitas virtual yang diajukan oleh seorang ketua stasi di pedalaman Manggarai, adalah gema dari pertanyaan yang sama yang sedang direfleksikan dalam sinode-sinode di Vatikan. Kecemasan akan umat lansia yang tertinggal di Adonara adalah cerminan dari keprihatinan pastoral yang juga dirasakan di paroki-paroki di pelosok Afrika dan Amerika Latin. Flobamora tidak sedang mengekor; ia sedang berjalan bersama, di garis depan sebuah ziarah iman yang bersejarah.
Dengan kesadaran ini, setiap upaya digital—mulai dari siaran Misa sederhana, grup WhatsApp lingkungan, hingga konten renungan di media sosial—harus dilihat dalam bingkai yang lebih agung. Ini adalah upaya nyata dan sadar dari Gereja untuk menunaikan mandatnya yang abadi di sebuah teritori yang baru: memastikan bahwa Kabar Gembira Injil tetap relevan, berdaya, dan mampu menyentuh relung jiwa manusia di "benua digital" yang maha luas ini.
Benua baru ini memiliki bahasa, budaya, dan tantangannya sendiri. Ia membutuhkan para misionaris baru—bukan hanya para imam, tetapi setiap umat—yang berani memetakan jalannya, yang fasih menerjemahkan bahasa iman ke dalam dialek piksel dan sinyal, dan yang terpenting, mampu membangun oase-oase persekutuan yang otentik di tengah padang gurun informasi.
Pada akhirnya, tujuan kita bukanlah sekadar memindahkan mimbar ke layar, melainkan menanamkan benih Kerajaan Allah di setiap linimasa, memastikan bahwa di antara jutaan ‘Like’, kasih Kristus tetap menjadi ‘Amin’ yang paling menggema dan menyelamatkan.
Dr.Don Bosco Doho, MM, Penulis adalah Pengarang Buku Etika & Filsafat Komunikasi di Era Digital