Industri Asuransi Jiwa Tegaskan Komitmen Pelindungan Konsumen Lewat Transparansi Kontrak dan Layanan Kesehatan

Oleh : Wiyanto | Kamis, 26 Juni 2025 - 15:30 WIB

INDUSTRY.co.id-Jakarta – Industri asuransi jiwa saat ini tengah menghadapi dua isu strategis yang menjadi sorotan publik: pertama, terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 251 KUHD, yang berimplikasi langsung terhadap keabsahan kontrak polis asuransi; dan kedua, penerbitan SEOJK No. 7 Tahun 2025 yang mengatur penyelenggaraan asuransi jiwa dengan manfaat kesehatan.

Kedua kebijakan ini menuntut industri untuk memperkuat tata kelola, meningkatkan transparansi, dan menyusun langkah-langkah yang berpihak kepada kepentingan pemegang polis.

“Industri asuransi jiwa memiliki komitmen jangka panjang untuk terus memperkuat pelindungan konsumen, tidak hanya dalam bentuk kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga melalui perbaikan tata kelola yang berkelanjutan. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 251 KUHD dan terbitnya SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 adalah momen penting untuk membuktikan bahwa industri tidak alergi terhadap perubahan. Kami menyambut kedua kebijakan ini sebagai peluang untuk menghadirkan kontrak polis yang lebih adil, serta layanan kesehatan yang lebih transparan, efisien, dan berpihak pada kebutuhan nasabah,” ujar Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu dalam Media Gathering AAJI, yang diselenggarakan di Sentul, Bogor, pada 25 Juni 2025.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari lintas pemangku kepentingan, antara lain: Dr. Hendri Jayadi, SH., MH, Akademisi dan Pakar Hukum Pidana; Hasinah Jusuf, Kepala Departemen Legal AAJI; dr. Dian Budiani, Kepala Departemen Klaim dan Manfaat AAJI; dr. Emira E. Oepangat, Wakil Ketua I PERDOKJASI.

Putusan MK dan Transparansi Kontrak Polis: Menjaga Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Sesi pertama mengangkat tema “Transparansi Asuransi Pasca Putusan MK: Implikasi dan Langkah Industri”. Dalam diskusi ini, Akademisi dan Pakar Hukum Pidana, Dr. Hendri Jayadi menjelaskan bahwa putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024 memiliki dampak langsung terhadap prinsip dasar kontrak dalam asuransi jiwa. “Putusan MK ini menegaskan bahwa perusahaan tidak bisa secara sepihak membatalkan pertanggungan tanpa dasar kesepakatan atau putusan pengadilan. Untuk itu, perusahaan perlu memperkuat unsur utmost good faith, memperjelas klausul, serta memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa,” jelas Hendri.

Kepala Departemen Legal AAJI, Hasinah Jusuf menambahkan bahwa industri telah merespons putusan MK ini dengan melakukan penyesuaian teknis. “Kami telah menyusun revisi klausul polis, SPAJ, dan formulir klaim, serta berdiskusi dengan OJK. Prinsip utamanya adalah menjaga agar hak dan kewajiban perusahaan dan nasabah menjadi lebih seimbang, adil, dan transparan,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa perusahaan tetap memiliki hak menolak klaim sepanjang alasan penolakannya sudah tertulis dan disepakati dalam polis.

SEOJK 7/2025 dan Tantangan Asuransi Kesehatan: Menjaga Angka Kenaikan Klaim dan Akses Layanan Sesi kedua bertajuk “Perkembangan Asuransi Kesehatan: Tantangan Regulasi dan Inflasi Medis” membahas strategi industri dalam menghadapi lonjakan biaya kesehatan yang signifikan dalam dua tahun terakhir. Kenaikan klaim dipicu oleh inflasi medis, harga obat-obatan, hingga potensi overtreatment.

Kepala Departemen Komunikasi AAJI, Karin Zulkarnaen menyampaikan bahwa SEOJK No. 7 Tahun 2025 merupakan langkah konkret regulator untuk memperkuat tata kelola dan keberlanjutan asuransi kesehatan. “Regulasi ini menuntut perusahaan untuk lebih disiplin dalam manajemen risiko kesehatan, serta transparan dalam menjelaskan manfaat dan hak nasabah,” tegas Karin.

Kepala Departemen Klaim dan Manfaat AAJI, dr. Dian Budiani menjelaskan sembilan komponen utama dalam SEOJK ini, termasuk kewajiban membentuk Dewan Penasihat Medis (DPM), digitalisasi data dengan rumah sakit, dan ketentuan co-payment. “Co-payment bukan hal baru, dan bukan untuk membebani. Tujuannya adalah untuk mendorong kesadaran nasabah dalam memilih layanan kesehatan yang efektif dan tepat guna,” ujarnya. Co-payment dibatasi maksimal Rp 300 ribu untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap atau sesuai dengan nominal yang disepakati antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis.

Menambahkan sudut pandang profesi medis, Wakil Ketua I PERDOKJASI, dr. Emira Oepangat menjelaskan peran strategis Dewan Penasihat Medis (DPM) sebagai penasihat independen bagi perusahaan dalam mengevaluasi manfaat layanan. “DPM mendorong pendekatan medis berbasis evidence-based medicine. Ini penting untuk menghindari klaim yang tidak sesuai indikasi klinis dan membantu nasabah mengelola manfaat polis secara lebih bijak,” ujarnya. Ia juga menyarankan adanya standarisasi obat dan treatment untuk mendukung efisiensi biaya.

SEOJK No. 7 Tahun 2025 akan berlaku efektif pada 1 Januari 2026. Industri asuransi jiwa menyambut regulasi ini sebagai bagian dari transformasi menuju ekosistem yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan.

“Setiap kebijakan dari regulator bukanlah beban, tetapi jalan menuju industri yang lebih dipercaya. Perlu kolaborasi aktif antara perusahaan, regulator, tenaga medis, dan media untuk membangun kepercayaan publik secara kolektif,” tutup Togar Pasaribu.