Kemenperin Catat IKI Manufaktur Bulan Mei 2025 Mencapai Level 52,11
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Terbitnya kebijakan pro industri serta sedikit meredanya perang dagang global telah memberikan dampak positif terhadap kondisi perekonomian global yang juga membawa pengaruh baik kepada iklim usaha industri di Indonesia.
Hal inipun diikuti dengan mengalirnya investasi baru terutama investasi di sektor manufaktur dan peningkatan penyerapan tenaga kerja juga ikut kinerja industri pada bulan Mei 2025 ini.
Pada bulan Mei 2025, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) manufaktur menunjukkan kinerja positif dengan kembali bertahan pada fase ekspansi yang mencapai level 52,11. Posisi ini meningkat 0,21 poin dibandingkan pada bulan April 2025, namun melambat 0,39 poin dibandingkan pada Mei 2024.
“Kembalinya IKI bulan Mei 2025 pada laju ekspansi telah ditopang oleh 21 subsektor yang tercatat tumbuh positif dan menyumbang kontribusi sebesar 95,7 persen terhadap PDB industri pengolahan nonmigas pada Triwulan I – 2025,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief dalam Rilis IKI Mei 2025 di Jakarta, Selasa (27/5/2025).
Peningkatan IKI bulan Mei dipengaruhi oleh ekspansi pada seluruh variabel pembentuk IKI, yaitu pesanan, produksi, dan persediaan. Variabel pesanan mengalami ekspansi dengan peningkatan 2,13 poin dibandingkan bulan April 2025. Sementara variabel produksi dan persediaan sedikit menurun menjadi 52,43 poin dan 52,48 poin.
Meningkatnya variabel permintaan telah menjadi angin segar setelah sebelumnya variabel pesanan berada dalam zona kontraksi. “Kembalinya variabel pesanan ke zona ekspansi telah menjadi penopang kinerja industri di sisi permintaan, baik domestik maupun global, pada bulan Mei 2025 ini,” ujar Febri.
Adapun subsektor yang memiliki nilai IKI tertinggi, yaitu industri alat angkutan lainnya (KBLI 30) dan industri pengolahan tembakau (KBLI 12). Sementara itu, dua subsektor yang mengalami kontraksi adalah industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (KBLI 15) serta industri peralatan listrik (KBLI 27).
Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki, Rizky Aditya Wijaya menjelaskan bahwa kontraksi yang dialami oleh industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki disebabkan adanya kenaikan harga yang terjadi sejak Maret 2025, menyebabkan konsumen domestik menahan konsumsi barang tahan lama seperti alas kaki.
Selain itu, penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) di AS menyebabkan pesanan alas kaki dari Indonesia menurun, sedangkan 43 persen hasil produksi alas kaki Indonesia diekspor.
Di sisi lain, dampak dari negosiasi tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat telah menyebabkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Sehingga banyak perusahaan yang mengambil sikap wait and see serta pembatalan investasi hingga iklim usaha lebih stabil.
Akan tetapi, meskipun kegiatan produksi berkurang, Rizky menilai masih terdapat optimisme pada sektor industri alas kaki, karena sejak bulan Januari sampai Mei 2025 telah terdapat 12 investasi Penanaman Modal Asing (PMA) baru dengan skala besar masuk ke Indonesia.
Adapun izin investasi ini telah terbit dengan total nilai investasi mencapai Rp8 triliun dengan total kapasitas produksi 64,6 juta pasang alas kaki serta 214,6 juta pasang komponen alas kaki.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Reni Yanita menambahkan, sektor industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki sebagian besar berasal dari unit usaha skala IKM dan memiliki kertergantungan terhadap kebijakan yang pro industri. “Kebijakan-kebijakan seperti gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia dan keberpihakan pemerintah untuk belanja produk lokal, dapat lebih digaungkan dan diwujudkan dalam bentuk membeli produk lokal tersebut,” katanya.
Sepanjang tahun 2025, kinerja industri pengolahan lainnya atau industri aneka (KBLI 32) terus mengalami ekspansi. Menurut Dirjen IKMA, industri aneka merupakan industri yang menghasilkan produk akhir (consumer goods), yaitu sangat rentan dengan kebijakan tidak tepat ataupun daya beli.
Oleh karena itu, kebijakan protektif AS terhadap produk impor Indonesia telah berdampak menciptakan menciptakan iklim usaha yang tidak stabil dan penuh ketidakpastian sebagaimana industri alat musik, bulu mata palsu, dan rambut palsu yang kini mengalami perlambatan.
“Untuk mengatasi perlambatan dan stagnansi yang dialami subsektor tersebut, Kemenperin berupaya meningkatkan permintaan domestik melalui perjanjian dengan mitra, memasifkan penerapan relaksasi TKDN-IK, mendorong akses penjualan secara digital, memfasilitasi pameran, dan mengoptimalisasikan perjanjian dagang antara Indonesia dengan negara lain,” papar Reni.
Sementara itu, pada subsektor industri peralatan listrik mengalami penurunan produksi dikarenakan belum optimalnya penyerapan persediaan produk, sehingga masih terdapat stok.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Ronggolawe Sahuri menjelaskan, terdapat beberapa penyebab lain di antaranya yaitu adanya pelemahan daya beli masyarakat, pergeseran prioritas anggaran bagi konsumen yang bersifat musiman, bahan baku yang sulit diperoleh oleh pelaku industri, dan banjirnya produk impor.