Harkitnas dan Suara Jalanan: Antara Algoritma dan Asa Kesejahteraan
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Tepat pada Hari Kebangkitan Nasional ke-117, 20 Mei 2025, ribuan pengemudi ojek online turun ke jalan memadati kawasan Patung Kuda, Jakarta. Ironis. Ketika negara mengusung tema “Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat”, tema ini mengandung semangat optimisme kolektif untuk keluar dari masa krisis menuju fase kemajuan. Sebagai negara dengan populasi digital yang besar, Indonesia tidak bisa terus membiarkan “kebangkitan ekonomi digital” berjalan dengan beban sosial yang timpang. Ketika startup unicorn tumbuh pesat dan investor global memetik hasilnya, jutaan pekerja penggeraknya tetap hidup dalam bayang-bayang algoritma dan aturan sepihak. Demonstrasi hari ini bukan sekadar keluhan tarif, melainkan refleksi terdalam tentang ketimpangan dalam transformasi digital yang belum sepenuhnya menghadirkan keadilan.
Kita berada di era yang disebut banyak pakar sebagai gelombang “gig economy”. Dalam konteks ini, ojek online bukan hanya alat transportasi, tapi representasi nyata dari realitas kerja baru generasi Indonesia—fleksibel, berbasis platform. Layanan ojek online (seperti Gojek dan Grab) telah menjadi motor pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Studi tahun 2023 menunjukkan industri ride-hailing (termasuk transportasi online, pengantaran makanan, belanja, dan kurir) mencapai nilai transaksi sekitar Rp 382,6 triliun per tahun, setara 2% dari PDB Indonesia 2022. Kontribusi ini mencerminkan peran besar ojek online dalam ekonomi nasional. Di sisi ketenagakerjaan, sektor ini menyerap jutaan pekerja: sekitar 3,5 juta pengemudi di Indonesia mendapatkan penghasilan melalui platform ride-hailing. Menariknya, 1 dari 4 mitra pengemudi sebelumnya menganggur, yang berarti ojek online membantu membuka lapangan kerja baru bagi kelompok yang sulit terserap di sektor formal. Selain itu, layanan ini melayani puluhan juta konsumen dan membantu UMKM (terutama penjual makanan) memperluas pasar melalui layanan pesan-antar, sehingga ada efek pengganda ekonomi tambahan.
Namun, alih-alih menjadi kendaraan mobilitas sosial, realitas lapangan menunjukkan bahwa pekerja platform hidup dalam struktur tanpa perlindungan: upaya masih bersifat parsial: BPJS Ketenagakerjaan hanya mencakup 12% driver; THR hanya berupa imbauan; dan hubungan kemitraan belum punya jaminan hukum yang adil.
Jika kita menengok India—yang juga negara berkembang dengan ekosistem ride-hailing masif—mereka telah melangkah lebih jauh. Dengan mengesahkan Code on Social Security 2020, India mengakui pekerja gig sebagai kategori tersendiri, mewajibkan perusahaan platform berkontribusi ke dana jaminan sosial. Di Rajasthan, bahkan sudah ada Undang-Undang Kesejahteraan Gig Worker, di mana setiap transaksi ride-hailing menyisihkan kontribusi untuk perlindungan driver. Begitu pula Filipina, dengan RUU POWER yang sedang dibahas, yang akan mewajibkan platform mendaftarkan pekerjanya ke jaminan sosial nasional, serta mengatur transparansi algoritma dan hak-hak dasar pekerja digital.
Menarik untuk di telaah yang terjadi di Filipina diusulkan undang-undang baru: Pada Oktober 2022, sebuah Rancangan Undang-Undang di Senat Filipina diperkenalkan oleh Senator Risa Hontiveros, dikenal sebagai “Protektadong Online Workers, Entrepreneurs, Riders, at Raketera (POWER) Act of 2022”. RUU ini secara khusus bertujuan mengatur pekerjaan berbasis platform online dan memberikan perlindungan dasar terlepas dari status kontraktor/karyawan. Beberapa poin kunci RUU POWER antara lain: mewajibkan penyedia platform mendaftarkan dan mengikutsertakan pekerja ke program jaminan sosial pemerintah – yaitu SSS, PhilHealth, dan Pag-IBIG. Platform harus memfasilitasi pembayaran kontribusi untuk pekerja, misalnya dengan menyisihkan sebagian pendapatan atau mengenakan welfare fee pada transaksi. Dengan demikian, driver dan kurir akan mendapat perlindungan pensiun, kesehatan, dan akses pinjaman perumahan sebagaimana pekerja formal. Selain itu, RUU ini menuntut transparansi algoritma: platform harus menginformasikan bagaimana sistem penilaian dan pembagian order bekerja, serta melarang pemutusan kemitraan sepihak tanpa alasan jelas. Larangan diskriminasi juga dicantumkan, memastikan pekerja diperlakukan adil tanpa memandang status mereka. RUU POWER pun menggarisbawahi hak gig workers untuk mengakses mekanisme penyelesaian sengketa dan hak berserikat. Meski RUU ini masih dalam pembahasan dan belum disahkan per 2024, ia menandakan keseriusan legislator untuk menjamin gig worker “mendapat hak layak, transparansi, dan nondiskriminasi, terlepas dari status ketenagakerjaannya
Demo ojol ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan sektoral, melainkan simbol dari kegagalan negara dan pasar dalam menciptakan keadilan sosial di era transformasi digital. Ketika transformasi digital seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan dan mobilitas sosial, realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Para mitra ojol bekerja dalam sistem yang tidak transparan, penuh tekanan psikologis, dan minim perlindungan hukum. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita menghadapi apa yang disebut teori transformasi digital kritis—sebuah pandangan bahwa digitalisasi bukanlah proses netral, melainkan memiliki implikasi sosial-politik yang mendalam (Schou & Hjelholt, 2018). Digitalisasi yang tidak diiringi dengan prinsip keadilan justru menciptakan bentuk baru dari eksklusi dan subordinasi.
Ketika negara terlalu sibuk menciptakan “unicorn” dan mengejar indeks digitalisasi, kita lupa bahwa ribuan mitra ojol masih berjuang untuk mendapat keadilan insentif, akses jaminan sosial, dan ruang partisipasi. Mereka adalah wajah dari Indonesia hari ini yang bangkit bukan karena diberi ruang, tetapi karena terdesak oleh sistem yang mengeksploitasi.
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kita juga perlu menyoroti peran negara sebagai regulator. Negara tidak boleh hanya menjadi fasilitator pertumbuhan industri digital, tetapi juga sebagai penjaga etika digital. Dalam teori governance digital, negara berperan sebagai penjamin tata kelola platform digital agar tetap mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak digital warga negara.
Jika kita ingin benar-benar “Bangkit Bersama”, maka pembangunan digital tidak boleh hanya menjadi arena bagi kaum terdidik, investor, atau pemilik modal. Ia harus menjadi medan inklusif yang memberi peluang nyata bagi mereka yang selama ini termarginalkan oleh sistem. Kita perlu bentuk baru dari kebangkitan nasional—kebangkitan yang menyadari
Lebih jauh, jika ditinjau dari teori pembangunan partisipatif, seperti yang dikemukakan oleh Chambers (1997), pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang melibatkan kelompok rentan dalam proses perumusan kebijakan dan distribusi manfaat. Namun dalam kasus ojol, yang terjadi justru sebaliknya: mereka diposisikan hanya sebagai "pengguna aplikasi," bukan sebagai aktor yang berhak menentukan syarat kerja atau mendapatkan perlindungan sosial.
Kondisi ini mencerminkan kekeliruan dalam memahami transformasi digital semata-mata sebagai proses adopsi teknologi, tanpa menyentuh struktur relasi kuasa dan distribusi kesejahteraan. Padahal, menurut Amartya Sen, kesejahteraan bukan hanya diukur dari tingkat pendapatan, tetapi dari kemampuan individu untuk menjalani hidup yang ia nilai berharga (capability approach). Jika para pekerja digital tidak memiliki kendali atas waktu, pendapatan, dan akses terhadap jaminan sosial, maka mereka belum dapat disebut sejahtera, meskipun mereka terlibat dalam ekosistem teknologi modern.
Fenomena ini juga menjadi kritik atas implementasi agenda pembangunan nasional yang terlalu menekankan indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah startup, atau volume transaksi digital, tanpa memperhitungkan aspek mikro seperti kerentanan sosial, beban kerja yang tidak manusiawi, serta krisis eksistensial yang dialami oleh jutaan pekerja digital informal.
Dalam konteks hari ini, Hari Kebangkitan Nasional semestinya menjadi momentum reflektif untuk mengevaluasi arah pembangunan digital kita. Kita harus kembali pada prinsip bahwa pembangunan—baik konvensional maupun digital—harus bersifat inklusi, partisipatif, dan berbasis kesejahteraan yang berkeadilan.
Kita tidak akan benar-benar bangkit jika sebagian besar masyarakat kita tertinggal dalam logika kerja yang eksploitatif. Kebangkitan nasional harus bertransformasi dari slogan menjadi kesadaran struktural, dari simbolisme menjadi aksi sistemik, dan dari eksklusi menuju kesejahteraan yang memerdekakan.
Maka, Harkitnas harus menjadi titik balik, bukan sekadar seremoni, tapi momen kebijakan yang berani.Mereka turun ke jalan bukan untuk merayakan, melainkan untuk menyuarakan keresahan terhadap ekosistem kerja yang tidak adil di bawah bayang-bayang algoritma dan ketimpangan digital.
Oleh:
Amalia Susilowati Prabowo
Kandidat Doktor, Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
FISIPOL Universitas Gadjah Mada