Pengamat Ini Kritik Kebijakan DHE dari PP 8/2025, Peringatkan Bahaya yang Menekan Petani Sawit Kecil dan Pabrik Pengolahan

Oleh : Kormen Barus | Selasa, 06 Mei 2025 - 20:21 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 yang mewajibkan penempatan 100% Devisa Hasil Ekspor (DHE) sumber daya alam ke dalam sistem keuangan nasional dinilai dapat memberikan tekanan serius terhadap petani sawit kecil (swadaya) dan industri pengolahan sawit dalam negeri.

Mansuetus Darto selaku praktisi sawit dan perwakilan Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyatakan bahwa meskipun kebijakan ini secara langsung menyasar eksportir, dampaknya bisa meluas hingga ke tingkat paling bawah dalam rantai pasok industri sawit.

“Petani kecil umumnya tidak melakukan ekspor langsung, mereka menjual ke koperasi atau pabrik kelapa sawit (PKS). Tapi kalau eksportir tak bisa menyerap hasil olahan karena likuiditasnya terganggu akibat kewajiban penempatan DHE selama 12 bulan, maka efeknya bisa sampai ke petani. Panen bisa tertunda, harga TBS anjlok, bahkan tidak laku di pasar,” jelas Darto dalam rilis yang diterima media ini, Selasa (6/5/25).

Menurutnya, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani sudah mulai mengalami penurunan sebesar Rp30-50 per kilogram dalam beberapa waktu terakhir, yang diyakini merupakan efek awal dari kekhawatiran pasar terhadap implementasi kebijakan ini.

Selain itu, Darto memperingatkan bahwa eksportir kemungkinan akan lebih selektif dalam memilih pemasok, lebih mengutamakan kelompok usahanya sendiri, dan mengabaikan PKS kecil yang menggiling hasil panen petani swadaya. "Risikonya, banyak pabrik kecil yang bisa kolaps dan terjadinya PHK massal," katanya.

Meski kebijakan ini bertujuan memperkuat ketahanan ekonomi nasional, meningkatkan cadangan devisa, dan menjaga stabilitas rupiah, Darto menekankan pentingnya pertimbangan sektor-sektor terdampak yang memiliki rantai pasok kompleks seperti kelapa sawit.

Untuk itu, Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan skema yang lebih fleksibel, mirip dengan sektor migas yang hanya diwajibkan menempatkan 30% DHE, bukan 100%.

Lebih lanjut, ia menyoroti potensi kebijakan ini mengganggu program hilirisasi sawit dan suplai domestik untuk kebutuhan pangan dan energi berbasis Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah.

Pemerintah diharapkan segera membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk petani, agar transisi kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak baru di sektor strategis kelapa sawit.

“Petani kecil mengelola 42% dari total 17,3 juta hektare kebun sawit nasional. Mereka bukan eksportir, tapi mereka adalah fondasi dari industri ini. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampak ke bawah justru bisa melemahkan ketahanan pangan dan energi kita sendiri,” tutup Darto.