Tut Wuri, Tapi Kami Pergi
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025, publik diajak kembali meresapi ajaran Ki Hadjar Dewantara: pendidikan sebagai upaya menuntun kodrat anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Namun, di linimasa, sebuah tagar ironis justru mendominasi percakapan: #kaburajadulu. Ini bukan sekadar ekspresi digital, melainkan manifestasi kekecewaan generasi muda terhadap sistem pendidikan nasional.
Ungkapan “kabur aja dulu” ternyata bukan isapan jempol belaka. Dalam sebuah sesi pelatihan, seorang remaja lulusan SMK berkeluh kesah pada saya:
“Bu, sekolah sekarang bikin capek dan nggak nyambung sama hidup kita. Mending kabur aja kalau bisa.” Sebagai ibu sekaligus pendidik, hati saya terenyuh. Bukankah sekolah seharusnya membuat anak betah belajar, bukan mendorong mereka ingin lari?
Pertanyaannya sekarang bukan lagi “apa yang salah?”, tetapi “mengapa yang benar tak kunjung dirasakan?”. Di sinilah refleksi menjadi mendesak. Sebagai seorang ibu, pelaku pembangunan sosial, dan akademisi, saya merasakan betapa semakin lebarnya jurang antara visi ideal pendidikan dan kenyataan hidup anak-anak bangsa.
Sistem yang Terpecah dan Terputus
Struktur kelembagaan pendidikan Indonesia kini terbagi ke dalam tiga kementerian: Pendidikan Dasar dan Menengah, Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, serta Kebudayaan. Fragmentasi ini, meski diniatkan untuk spesialisasi dan efisiensi birokrasi, justru memperlihatkan kelemahan koordinatif yang akut.
Alih-alih mempercepat reformasi, pemisahan ini membingungkan publik dan memperpanjang rantai koordinasi. Penyesuaian kurikulum, sinkronisasi program vokasi dengan kebutuhan industri, dan pembangunan karakter berbasis budaya terjebak dalam ketidaksinkronan administratif.
Kompas tahun 2025 mencatat langkah-langkah seperti penguatan kurikulum Pancasila dan kerja sama dengan industri sebagai gebrakan awal.
Namun, publik masih menghadapi revisi kurikulum tanpa transparansi, pelatihan guru yang terbatas, dan beban administratif pada siswa yang tak kunjung disederhanakan. Alih-alih menghasilkan sistem pendidikan yang adaptif, kita justru menciptakan struktur teknokratik yang kaku dan abai terhadap suara dari lapangan.
Inilah contoh pendekatan birokratis-teknokratis yang bukannya mempercepat kemajuan, malah memperumit sistem dan menjauh dari kebutuhan nyata pendidik dan peserta didik.
Anggaran Tak Selalu Bermakna Akses
Kenaikan anggaran pendidikan tahun 2025 menjadi Rp708,2 triliun semestinya menjadi peluang besar. Tapi dalam kerangka evaluatif pembangunan Basic Needs Theory (Goulet, 1971), pertanyaannya bukan sekadar seberapa besar uang yang digelontorkan, melainkan apakah dana tersebut benar-benar menjawab kebutuhan dasar generasi muda: akses, relevansi, dan makna.
Laporan DRTPM 2023 mencatat 243 prototipe riset, 1.360 kekayaan intelektual, dan 34.654 publikasi internasional – sebuah capaian yang patut diapresiasi.
Namun, jika inovasi tidak membuka akses kerja atau menjembatani jurang sosial, maka indikator keberhasilan tersebut hanyalah ilusi belaka.
Menurut Basic Needs Theory, pembangunan yang gagal menjamin pekerjaan bermakna akan menciptakan krisis eksistensial. Inilah yang dirasakan generasi muda saat mereka memutuskan untuk “kabur” – bukan secara harfiah, tapi keluar dari sistem yang tak memberdayakan mereka.
Ketika Pendidikan Gagal Meningkatkan Kehidupan
Data BPS 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi (5,52%) justru lebih tinggi dibanding lulusan SMA (5,23%). Ironis, mengingat pendidikan tinggi terus dipromosikan sebagai jembatan menuju kesejahteraan.
Padahal, seperti dikritik oleh Human Capital Theory (Becker, 1964), pendidikan yang tidak terhubung dengan pasar kerja hanya akan menghasilkan kelompok overqualified but underemployed – penduduk berpendidikan tinggi namun menganggur atau bekerja di bawah kelayakan.
Di sinilah relevansi Capability Approach dari Amartya Sen (1999) menjadi penting. Jika sistem pendidikan tidak memberikan ruang bagi aktualisasi diri dan pilihan hidup yang bermakna, maka wajar jika keputusan untuk “kabur” menjadi ekspresi agency generasi muda, bukan sekadar luapan frustrasi.
Lebih lanjut, literatur (Threadgold, 2021) memperlihatkan fenomena youth political disengagement, di mana ketidakpercayaan generasi muda terhadap institusi pendidikan bukan semata karena kesenjangan ekonomi, melainkan karena mereka merasa sistem tidak mampu menampung aspirasi, otonomi, dan imajinasi masa depan.
Dengan kata lain, ketika kaum muda merasa pendidikan tak relevan dengan hidup dan cita-cita mereka, mereka menarik diri secara politis dan sosial dari institusi tersebut.
Kritik terhadap Perspektif Tekno-Birokratik
Artikel Kompas berjudul “Perspektif Teknokratik: #kaburajadulu” (2025) menyoroti bahwa jawaban negara terhadap keresahan generasi muda cenderung terlalu teknokratis. Inovasi dilihat sebagai angka statistik belaka, bukan sebagai alat transformasi sosial. Kampus diposisikan semata sebagai pabrik tenaga kerja, bukan sebagai ruang pembentukan karakter dan kesadaran kritis.
Model seperti inilah yang dikritik Threadgold (2021) sebagai “future-oriented technocratic paternalism” – negara menciptakan narasi masa depan seragam yang tak memberi ruang bagi ekspresi sosial dan jalan hidup alternatif. Dalam konteks Indonesia, hal ini tampak pada cara pendidikan tinggi didorong masuk ke dalam ekosistem industri tanpa dialog yang cukup dengan komunitas, budaya lokal, dan ruang-ruang sosial lain yang lebih cair dan kreatif. Pendekatan yang terlalu teknokratik dan birokratik ini berisiko mematikan kreativitas serta mengasingkan pendidikan dari kehidupan nyata masyarakat.
Inkonsistensi antara Janji dan Kebijakan
Sebagai akademisi dan pelaku lapangan, saya menyaksikan betapa banyak riset kampus yang tidak pernah menjejak bumi. Dana riset sering kali tidak mengalir ke komunitas akar rumput, dan pelatihan kewirausahaan berbasis kampus hanya menyentuh lapisan terluar mahasiswa.
Berbagai kebijakan seperti Dana Abadi Inovasi Mahasiswa, inkubator karier di kampus, atau kredit kewirausahaan pada dasarnya baik. Namun, semua itu takkan berdampak jika tidak dibarengi kebijakan afirmatif bagi mahasiswa dari latar belakang marginal.
Tanpa distribusi sumber daya yang adil dan akses yang luas, semua akan menjadi jargon belaka — teknokratik, elitis, dan jauh dari realitas. Janji reformasi tinggal wacana ketika implementasi di lapangan setengah hati.
Belajar dari Finlandia, Jerman, dan Singapura
Menengok ke negara lain, kita mendapatkan inspirasi bagaimana pendidikan dapat dikelola secara humanis tanpa mengorbankan mutu. Finlandia, misalnya, menekankan kolaborasi dan kesetaraan dalam pendidikan, bukan kompetisi berlebihan.
Di Finlandia tidak ada ujian nasional di jenjang pendidikan dasar; satu-satunya ujian standar adalah Ujian Matrikulasi di akhir sekolah menengah, itupun dilakukan ketika siswa dianggap telah cukup dewasa dan ujian tersebut boleh diulang.
Hasilnya? Finlandia secara konsisten meraih skor tinggi dalam tes PISA di semua bidang sejak tahun 2000. Artinya, tanpa tekanan ujian berlebih pun, kualitas pembelajaran mereka diakui dunia.
Sementara itu, Jerman memiliki model dual system yang memadukan pendidikan di sekolah dengan magang di industri. Siswa menghabiskan setengah waktu di kelas, setengahnya lagi bekerja langsung di perusahaan sebagai pemagang.
Pendekatan vokasi yang terintegrasi ini membuat lulusan memiliki pengalaman kerja nyata sebelum meraih. Implikasinya, tingkat pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di Jerman sangat rendah, berada di bawah 7% – jauh lebih baik dibanding banyak negara. Kerja sama erat antara pemerintah, kampus, dan industri memastikan keterampilan yang diajarkan relevan dengan kebutuhan pasar kerja, sehingga gelar pendidikan hampir selalu diikuti oleh peluang kerja yang sepadan.
Bahkan Singapura, negara yang sering dipandang sebagai model pendidikan berorientasi teknologi dan kompetisi tinggi, belakangan melakukan koreksi arah untuk lebih memanusiakan sistemnya.
Mulai 2019, Kementerian Pendidikan Singapura menghapus sistem peringkat (ranking) bagi siswa sekolah dasar dan menengah, serta meniadakan ujian di kelas 1-2 SD. Kebijakan drastis ini diambil untuk menegaskan bahwa “belajar bukanlah kompetisi”, sebagaimana diungkapkan Menteri Pendidikan Ong Ye Kung Fokusnya dialihkan pada pengembangan minat, diskusi, dan evaluasi kualitatif – pendekatan yang diyakini dapat membantu anak menemukan kembali kegembiraan belajar.
Langkah Singapura ini selaras dengan tujuan pendidikan untuk membantu generasi muda menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar pemburu nilai.
Pelajaran dari Finlandia, Jerman, dan Singapura tersebut menunjukkan bahwa sistem pendidikan bisa rigor dan berdaya saing tinggi tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan dan relevansi konteks.
Pendidikan dasar yang egaliter, link-and-match yang nyata antara sekolah dan industri, serta keberanian mengubah budaya belajar yang terlalu kompetitif – semua itu bisa dijadikan cermin bagi Indonesia. Bahwa ada cara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berhasil secara ilmiah (terukur lewat data dan hasil) sekaligus personal (dekat dengan kebutuhan peserta didik sebagai manusia).
Ki Hadjar Dewantara sudah lama mengajarkan pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan; contoh-contoh di atas membuktikan filosofi itu dapat diimplementasikan di era kini.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menghadapi realitas dan pembelajaran tadi, ada beberapa langkah konkret yang bisa diupayakan:
• Bangun Sistem Pendidikan yang Kontekstual dan Inklusif: Integrasikan potensi lokal, kearifan budaya daerah, dan aspirasi komunitas ke dalam kurikulum. Seperti ditekankan oleh teori Endogenous Development, pembangunan sejati dimulai dari sumber daya lokal.
Artinya, pendidikan harus berangkat dari konteks kehidupan anak didik sehari-hari agar materi pembelajaran terasa relevan dan inklusif untuk semua kalangan.
• Desentralisasi Kebijakan Akademik: Berikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan kampus di daerah untuk mengembangkan kurikulum dan model pembelajaran yang sesuai kebutuhan wilayahnya. Kebijakan yang seragam secara nasional cenderung tidak efektif di negara seluas dan seberagam Indonesia.
Desentralisasi akan mendorong inovasi di level lokal dan mencegah one-size-fits-all yang menyulitkan daerah tertentu.
• Hidupkan Triple Helix yang Partisipatif: Sinergi antara kampus, industri, dan pemerintah harus benar-benar berbasis kebutuhan nyata mahasiswa dan masyarakat, bukan sekadar proyek formalitas belaka.
Harus ada mekanisme feedback loop dari alumni dan pelaku usaha kecil-menengah untuk memastikan link and match berjalan. Dengan kemitraan yang partisipatif, inovasi kampus bisa langsung diujicobakan di masyarakat atau diserap industri, sekaligus membuka jalan karir bagi lulusan.
• Pendidikan sebagai Ruang Hidup: Kampus dan sekolah harus menjadi tempat bertumbuh – bukan hanya secara akademik, tetapi juga sebagai ruang ekspresi diri, kolaborasi lintas disiplin, dan penumbuhan nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum perlu memberi ruang bagi kegiatan kokurikuler dan eksperimen kreatif mahasiswa.
Pendidikan harus dipandang sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri, di mana siswa dan mahasiswa belajar mengenal jati diri, mengasah empati, dan memupuk kecintaan pada tanah airnya, bukan sekadar mengejar angka kredit semata.
Sebuah Harapan dari Ibu
Tulisan ini lahir dari perspektif seorang ibu – yang tidak hanya menuntut ilmu sebagai akademisi, tetapi juga menaruh harapan sebagai orang tua.
Seorang ibu yang mendambakan sistem pendidikan yang adil, manusiawi, dan memberi ruang bagi anaknya untuk tumbuh, berkarya, dan tinggal di negerinya sendiri.
Saya menulis ini sambil membayangkan anak saya kelak menjejak bangku kuliah bukan sekadar untuk mengejar nilai, tetapi untuk menemukan makna, membangun masa depan, dan mencintai tanah kelahirannya.
Bukan sekadar bertahan, tapi berdaya dan bangga sebagai orang Indonesia. Dan semoga, di masa depan, kita tak perlu lagi membaca tagar #kaburajadulu – karena anak-anak kita sudah merasa dijaga, dituntun, dan dimanusiakan.
Oleh: Amalia Susilowati P, S.Str., MM – Kandidat Doktor Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL Universitas Gadjah Mada