Dari Detoks Digital ke Detoks Etika Komunikasi: Belajar dari Berbagai Negara
INDUSTRY.co.id, JIKA ada yang bertanya mengapa ketika berbicara mengenai digital native selalu dikaitkan dengan Generasi Z maka argumentasinya adalah karena mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di era digital yang sangat dinamis. Generasi Z tumbuh di era teknologi sedang berkembang dengan pesat.
Internet, media sosial, aplikasi pesan makan, aplikasi transportasi, aplikasi kencan online, dan masih banyak lagi. Menurut data McKinsey Gen Z di Indonesia menempati posisi teratas yang paling banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di Internet. Rata-rata 7 sampai 13 jam setiap harinya. Wajar kalau terjadi digital fatique (kelelahan digital).
Mereka adalah generasi pertama yang benar-benar terhubung secara global melalui teknologi informasi sejak usia dini. Dengan akses mudah ke internet, media sosial, dan perangkat pintar, Gen Z memiliki peluang luar biasa untuk belajar, berkomunikasi, dan berkarya tanpa batas geografis. Namun, di balik kemudahan tersebut, ada tantangan besar yang sering kali luput dari perhatian: dampak buruk dari ketergantungan teknologi dan degradasi etika komunikasi.
Fenomena detoks digital —yaitu upaya sengaja mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan teknologi digital untuk sementara waktu—telah menjadi tren di kalangan anak muda, termasuk Gen Z. Langkah ini dilakukan untuk mengembalikan keseimbangan hidup, meningkatkan kesejahteraan mental, dan memperbaiki kualitas interaksi sosial. Namun, selain masalah ketergantungan teknologi, ada isu lain yang tak kalah penting: degradasi etika komunikasi di dunia maya.
Kehadiran media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi. Interaksi yang dulunya dilakukan secara langsung kini lebih sering terjadi dalam bentuk teks, emoji, atau video pendek. Sayangnya, perubahan ini juga membawa konsekuensi negatif seperti meningkatnya perilaku cyberbullying, komentar kasar, hingga hilangnya empati dalam komunikasi daring. Oleh karena itu, selain melakukan detoks digital, Gen Z juga perlu mempertimbangkan apa yang dapat disebut sebagai "detoks etika komunikasi" —yaitu upaya sadar untuk membersihkan diri dari kebiasaan buruk dalam berkomunikasi online dan kembali kepada nilai-nilai dasar seperti hormat, toleransi, dan empati.
Meskipun Gen Z di Indonesia sangat bergantung pada media digital, mungkin saja mereka terdorong untuk melakukan detoks digital hingga detoks etika komunikasi. Faktor-faktor seperti kesadaran akan dampak negatif teknologi, tren minimalisme digital, peningkatan edukasi tentang etika komunikasi, dukungan sosial, serta keinginan untuk koneksi autentik menjadi pendorong utama.
Namun, perubahan ini tidak akan terjadi secara instan. Dibutuhkan upaya kolektif dari semua pihak—termasuk pemerintah, pendidik, influencer, dan masyarakat—untuk menciptakan lingkungan yang mendukung transformasi ini. Jika berhasil, Gen Z dapat menjadi generasi yang tidak hanya terhubung secara teknologi, tetapi juga secara emosional dan moral, sehingga menciptakan interaksi sosial yang lebih sehat dan humanis.
Memahami Konsep Detoks Digital
Manusia modern sedang menghadapi fenomena digital overload. Sebuah studi oleh University of Pennsylvania (2018), menemukan hasil bahwa penggunaan media sosial berlebihan dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan psikologis, seperti meningkatnya kecemasan, depresi, dan kesepian. Konsep detoks digital muncul sebagai solusi untuk mengatasi masalah ini. Betapa tidak, teknologi telah mengubah cara manusia berinteraksi. Teknologi membentuk budaya baru, alih-alih budaya membentuk teknologi. Meskipun teknologi memungkinkan komunikasi jarak jauh, interaksi virtual sering kali kurang personal dibandingkan pertemuan tatap muka (Short et al., 1976).
Di saat yang bersamaan, degradasi etika komunikasi di dunia maya merupakan kutukan yang sedang melanda umat manusia modern. Apa yang disebut sebagai cyberbullying telah menjadi makanan empuk dalam keseharian hidup para digital netizen. Berdasarkan suvery Cyberbullying Research Center (2021), ditegaskan satu dari lima remaja di dunia pernah mengalami cyberbullying. Fenomena ini sering kali terjadi karena anonimitas yang ditawarkan oleh media sosial, sehingga individu merasa bebas untuk bertindak tanpa konsekuensi. Orang lebih berani bersuara di sosial media daripada berbicara secara langsung. Ketika menghadiri forum ilmiah seperti seminar, diskusi, simposius dan conference, para pesertanya cenderung gagap namun galak di sosial media. Semua kenyataan di atas turut menerabas empati virtual. Sebagai penguat dugaan ini, sebuah penelitian oleh Royal Society for Public Health (2017) menunjukkan bahwa media sosial dapat mengurangi kemampuan empati seseorang karena kurangnya konteks non-verbal dalam komunikasi daring.
Fenomena teranyar di Amerika, mayoritas generasi Z telah menyadari bahwa teknologi seharusnya menjadi alat untuk mendukung kehidupan, bukan tujuan utama. Dengan pemahaman ini, mereka lebih cenderung menggunakan teknologi secara bijak dan proporsional. Entah siapa yang menginisiasi dan mendorong kebiasaan baru ini, perlu pencarian lebih lanjut.
Menyoal Etika Komunikasi
Komunikasi yang humanis sudah semakin mahal di era ini. Pandangan Karl Jaspers, filsuf Jerman, menegaskan komunikasi yang bermakna harus melibatkan elemen-elemen seperti kehadiran fisik, dialog yang terbuka, dan rasa hormat terhadap orang lain. Nilai-nilai ini sering kali hilang dalam komunikasi digital. Segala sesuatu ada normanya. Norma sosial dalam media sosial pun menjadi demikian krusial. Tidak salah jika Studi oleh Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa banyak pengguna media sosial cenderung melanggar norma-norma sosial, seperti memberikan komentar kasar atau menyebarkan informasi palsu, karena mereka merasa tidak ada konsekuensi langsung.
Relevansi Detoks Digital dan Detok Etika Komunikasi Bagi Generasi Z
Gen Z mahir terhubung secara digital, tetapi juga rentan terhadap dampak negatif teknologi. Survei lain oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (2022) mendapatkan data bahwa 93% Gen Z aktif menggunakan media sosial setiap hari, dengan rata-rata waktu layar mencapai 8 jam per hari. Hal ini menunjukkan urgensi untuk memahami dan menerapkan konsep detoks digital serta detoks etika komunikasi .
1. Detoks Digital untuk Mengembalikan Keseimbangan Hidup
Kita tidak bisa tutup mata menyaksikan dampak negatif dari teknologi. Teknologi sudah tampil bak pedang tajam bermata dua. Tampil sebagai berkah dan kemudahan di satu mata, dan menjadi pembunuh dan pencipta kelelahan mental dan kelelahan sosial di mata yang lain. Lihat saja penggunaan smartphone dan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas, dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Misalnya, seorang mahasiswa bernama Nisa (dilaporkan oleh The Jakarta Post, 2023) mengaku bahwa setelah menjalani detoks digital selama satu minggu, dia merasa lebih fokus pada studinya dan lebih mampu menjalin hubungan dengan teman-temannya secara langsung. Untuk niat positif tersebut boleh dilewati beberapa langkah ciamik yang bisa diambil termasuk membatasi waktu layer (screen time), menghapus aplikasi media sosial yang tidak penting, dan menggunakan mode "grayscale" untuk mengurangi godaan visual. Selain itu, beralih ke featured phone juga bisa menjadi pilihan bagi mereka yang ingin sepenuhnya melepaskan diri dari distraksi digital.
2. Detoks Etika Komunikasi Jalan Membersihkan Diri dari Kebiasaan Buruk
Maraknya perilaku tidak etis di media sosial dilakukan oleh hamper semua semua generasi namun ditengarai mayoritas pelakunya adalah Gen Z. Sering terjadi perbuatan melanggar etika komunikasi dengan memberikan komentar kasar, menyebarkan hate speech, atau terlibat dalam cancel culture. Contohnya, seorang influencer bernama Rina (2022) pernah menjadi korban cyberbullying setelah salah ucap dalam sebuah video. Meskipun dia meminta maaf, komentar negatif terus berdatangan tanpa adanya ruang untuk dialog yang sehat. Sebagai jalan yang dapat menjanjikan nilai-nilai kebaikan, beberapa langkah detoks etika komunikasi dapat dipertimbangkan. Gen Z dapat meningkatkan kesadaran bahwa setiap kata yang diungkapkan di media sosial memiliki dampak nyata terhadap orang lain. Edukasi tentang etika komunikasi harus dimulai sejak dini. Sebagai manusia yang selalu dilingkupi nilai-nilai etika dan moral, Gen Z perlu menjaga empati. Sebelum memberikan komentar atau reaksi, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini akan menyakiti orang lain?" atau "Apakah ini akan membantu situasi?" atau “Kalau saya ada di posisi orang tersebut kira-kira bagaimana rasanya?”. Mereka harus berani melawan budaya benci. Alih-alih ikut-ikutan menyebarkan kebencian, Gen Z bisa menjadi agen perubahan dengan mempromosikan diskusi yang sehat dan saling menghormati. Maka inti dari etika komunikasi adalah empati.
3. Hubungan Antara Detoks Digital dan Detoks Etika Komunikasi
Baik detoks digital maupun detoks etika komunikasi sama-sama memerlukan kesadaran diri yang tinggi. Dengan mengurangi paparan teknologi, seseorang dapat lebih fokus pada nilai-nilai dasar seperti empati, hormat, dan toleransi. Kedua konsep ini saling melengkapi. Misalnya, dengan menjalani detoks digita , seseorang dapat lebih mudah menghindari perilaku tidak etis di media sosial karena mereka tidak lagi terjebak dalam siklus konsumsi informasi berlebihan.
4. Contoh Kasus Nyata
Untuk memberikan penegasan pada upaya yang menyejarah agar terjadi hijrah dari detoks digital ke detoks etika komunikasi, digambarkan beberapa kasus nyata. Ada kasus positif: Sebuah komunitas di Bandung, Indonesia, menginisiasi gerakan "No Phone Day" di sekolah-sekolah. Setiap hari Jumat, siswa dilarang menggunakan smartphone selama jam sekolah. Hasilnya, para siswa menjadi lebih fokus pada pelajaran, lebih aktif berbicara dengan teman sekelas, dan lebih jarang terlibat dalam konflik di media sosial. Tapia da juga kasus negatif yaitu fenomena toxic fandom di media sosial yang sering kali melibatkan Gen Z yang terlalu fanatik terhadap idola mereka. Akibatnya, mereka tidak segan-segan menyerang siapa pun yang dianggap mengkritik idola mereka, bahkan jika kritik tersebut bersifat konstruktif.
Best Practice Detoks Digital di Berbagai Negara
Selain Amerika Serikat, ada beberapa negara lain di mana fenomena detoks digital telah mulai diadopsi oleh Generasi Z. Di berbagai belahan dunia, anak muda sudah mulai menyadari dampak negatif dari penggunaan teknologi berlebihan dan mencari cara untuk mengurangi ketergantungan mereka pada smartphone serta media sosial. Dapat digambarkan bahwa Jepang, merupakan negara yang memiliki budaya minimalisme yang kuat dalam prinsip "Wabi-Sabi" (menghargai kesederhanaan) dan "Ikigai" (menemukan tujuan hidup). Budaya ini memengaruhi generasi muda untuk lebih memilih gaya hidup yang sederhana dan fokus pada hal-hal penting. Alhasil, beberapa anak muda di Jepang mulai meninggalkan smartphone canggih dan beralih ke featured phone atau bahkan menggunakan ponsel hanya untuk panggilan dan SMS. Gerakan ini dipicu oleh kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan, studi, dan kehidupan pribadi. Gerakan yang tergolong berani dari beberapa anak muda tersebut ternyata mendapat peneguhan berupa dukungan pemerintah Jepang melalui kampanye kesehatan mental di tempat kerja dan sekolah, yang menekankan pentingnya istirahat dari teknologi.
Lain Jepang, lain pula Korea Selatan. Meskipun Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat penggunaan internet dan media sosial tertinggi di dunia, namun, tingginya angka kecemasan, depresi, dan bunuh diri di kalangan anak muda telah mendorong banyak orang untuk mencari solusi, termasuk detoks digital. Laporan dari sebuah survei oleh Korea National Health and Nutrition Examination Survey (2021) menunjukkan bahwa sekitar 30% remaja Korea Selatan telah mencoba membatasi waktu layar mereka untuk meningkatkan kesehatan mental. Beberapa perusahaan teknologi di Korea Selatan, seperti Samsung, telah merancang fitur-fitur baru dalam smartphone mereka untuk membantu pengguna membatasi waktu layar, seperti mode "Digital Wellbeing."
Di belahan bumi lain, yaitu Swedia kaum mudanya memiliki gaya hidup slow living sebab mereka memiliki filosofi hidup "Lagom," yaitu hidup dalam keseimbangan dan tidak berlebihan. Konsep ini telah memengaruhi banyak anak muda Swedia untuk mengurangi penggunaan teknologi demi menciptakan kehidupan yang lebih tenang dan produktif. Di kota-kota besar seperti Stockholm, banyak anak muda yang sengaja meninggalkan media sosial selama akhir pekan atau liburan untuk fokus pada aktivitas offline seperti hiking, membaca, atau berkumpul dengan teman. Pemerintah Swedia pun menyambut baik penguatan filosofi yang mendukung gaya hidup sehat melalui program pendidikan tentang penggunaan teknologi yang bijak di sekolah-sekolah.
India juga termasuk salah satu negara yang memiliki tradisi spiritualitas dan mindfulness yang kuat, seperti yoga dan meditasi, yang telah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Kebiasaan ini mendorong banyak anak mudanya mulai mengadopsi praktik-praktik tersebut sebagai cara untuk melepaskan diri dari tekanan dunia digital. Ambil contoh, sebuah komunitas di Bangalore menginisiasi gerakan "Digital Detox Retreat," di mana peserta diajak untuk tinggal di pedesaan tanpa akses internet selama beberapa hari. Dengan acara tersebut dilaporkan terjadi peningkatan kesejahteraan mental dan hubungan interpersonal setelah mengikuti program ini. Berbarengan dengan aktivitas berbasis tradisi tersebut LSM dan lembaga pendidikan di India turut aktif mengedukasi anak muda tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.
Finlandia yang sangat terkenal dengan pendidikan holistiknya juga merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Sistem pendidikan mereka tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga pada kesejahteraan holistik siswa, termasuk penggunaan teknologi. Sekolah-sekolah di Finlandia menerapkan kebijakan "No Screen Time" selama jam sekolah untuk mendorong siswa berinteraksi secara langsung dan berfokus pada pembelajaran kreatif. Institusi pendidikan mendorong budaya outdoor seperti bersepeda, bermain di taman, atau bermain ski. Ini membuat anak muda lebih tertarik pada aktivitas fisik daripada terpaku pada layar.
Kita bisa belajar dari negara tetangga Australia yang begitu concern dengan gerakan kesehatan mental. Australia memiliki tingkat kesadaran yang tinggi tentang kesehatan mental, terutama di kalangan anak muda. Banyak organisasi nirlaba dan komunitas yang aktif mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk penggunaan teknologi berlebihan. Survei oleh Australian Psychological Society (2022) menegaskan bahwa sekitar 40% Gen Z di Australia telah mencoba melakukan detoks digital untuk mengurangi stres dan meningkatkan kualitas tidur. Hal ini dimaksimalkan oleh inisiatif komunitas dimana beberapa komunitas di Australia mengadakan acara seperti "Tech-Free Days" atau "Digital Detox Challenges" untuk mendorong partisipasi kolektif dalam mengurangi ketergantungan pada teknologi.
Terakhir adalah Inggris yang begitu gencar melakukan kampanye publik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif teknologi. Salah satunya adalah kampanye "Time to Log Off," yang mendorong masyarakat untuk mengambil jeda dari media sosial. Salah seorang influencer Inggris bernama Emma-Louise (dilaporkan oleh The Guardian , 2023) mengaku bahwa setelah menjalani detoks digital selama dua minggu, dia merasa lebih bahagia dan lebih produktif. Pemerintah Inggris pun memperketat regulasi media untuk melindungi kesehatan mental anak muda, terutama terkait konten berbahaya dan cyberbullying .
Fenomena detoks digital yang bukan hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di berbagai negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Swedia, India, Finlandia, Australia, dan Inggris mestinya mendorong Pemerintah Indonesia bersama stakeholder untuk kembali memberi perhatian pada budaya lokal yang menjunjung tinggi musyarawah dan gotong royong, hidup rukun dan damai sambil meneguhkan satu sama lain secara emosional dan humanis. Jika negara lain bisa membangun kesadaran akan dampak negatif teknologi, dukungan pemerintah, serta inisiatif komunitas memainkan peran penting dalam mendorong tren ini Indonesia harusnya tidak ada alasan untuk menunda lagi.
Meskipun konteks dan motivasi di setiap negara berbeda, ada satu kesamaan utama: anak muda di seluruh dunia mulai menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata. Hal ini menunjukkan bahwa detoks digital bukan hanya tren sesaat, tetapi sebuah langkah menuju gaya hidup yang lebih sehat dan humanis.
Rekomendasi untuk Detoks Digital ke Detoks Etika Komunikasi
Untuk mendorong terwujudnya jalan dari detoks digital dan detoks etika komunikasi, berbagai pihak—termasuk otoritas negara, lembaga non-pemerintah (LSM), influencer, serta pegiat etika komunikasi—memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang mendukung transformasi ini. Berikut adalah rekomendasi spesifik untuk masing-masing kelompok:
1. Rekomendasi untuk Otoritas Negara
Otoritas negara memiliki kekuatan regulasi dan sumber daya besar untuk memengaruhi perilaku masyarakat secara luas. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
a. Menerapkan kebijakan literasi digital dimana pemerintah dapat mengembangkan program literasi digital yang tidak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga pada aspek etika komunikasi. Contohnya, melalui kurikulum pendidikan formal di sekolah-sekolah atau pelatihan untuk guru dan orang tua. Program seperti "Gerakan Nasional Literasi Digital" di Indonesia sudah ada, namun perlu diperkuat dengan materi tentang dampak psikologis penggunaan teknologi dan pentingnya etika komunikasi.
b. Regulasi Media Sosial melalui kerja sama dengan platform media sosial untuk memperketat aturan terkait konten berbahaya, seperti ujaran kebencian (hate speech ), cyberbullying, dan penyebaran informasi palsu. Misalnya, mewajibkan platform untuk menyediakan fitur pelaporan yang lebih mudah dan transparan. Pemberlakukan sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran etika komunikasi di dunia maya, tanpa mengabaikan prinsip kebebasan berekspresi.
Kampanye publik secara nasional tentang pentingnya detoks digital dan detoks etika komunikasi. Kampanye ini bisa melibatkan tokoh publik, selebriti, dan influencer untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Misalnya saja, Kampanye "Sehari Tanpa Smartphone" atau "Berbicaralah dengan Hati" yang mengedepankan nilai-nilai humanisme dalam interaksi sosial.
c. Mendukung penelitian dan inovasi tentang dampak teknologi terhadap kesehatan mental dan etika komunikasi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat kebijakan yang lebih efektif.
2. Rekomendasi untuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
LSM dapat berperan sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, serta menjadi agen perubahan di tingkat komunitas. Berikut beberapa rekomendasi:
a. Program edukasi komunitas melalui lokakarya, seminar, atau diskusi terbuka tentang pentingnya detoks digital dan etika komunikasi. Fokus utama adalah membantu masyarakat memahami dampak negatif dari penggunaan teknologi berlebihan dan perilaku tidak etis di media sosial. Salah satu contoh Program "Digital Detox for Teens" yang mengajarkan anak muda cara membatasi waktu layar dan menggunakan teknologi secara bijak.
b. Advokasi untuk anak muda khususnya Gen Z sebagai target utama karena mereka adalah generasi yang paling terpengaruh oleh teknologi. LSM dapat bekerja sama dengan sekolah, perguruan tinggi, dan komunitas pemuda untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.
c. Membangun platform alternatif yang ramah pengguna dan fokus pada nilai-nilai positif, seperti kolaborasi, kreativitas, dan empati. Antara lain, aplikasi atau situs web yang dirancang untuk mendukung interaksi sosial yang bermakna tanpa distraksi berlebihan.
d. Dukungan psikologis dengan menyediakan layanan konseling gratis bagi individu yang mengalami masalah kesehatan mental akibat penggunaan teknologi berlebihan. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama dengan psikolog atau praktisi kesehatan mental lainnya.
3. Rekomendasi untuk Influencer
Influencer memiliki pengaruh besar terhadap perilaku dan gaya hidup pengikutnya, terutama Gen Z. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
a. Menjadi role model dengan menunjukkan contoh nyata tentang bagaimana mereka menjalani detoks digital. Influencer dapat membagikan pengalaman mereka selama sehari tanpa smartphone atau mengurangi aktivitas di media sosial. Cukup dengan memposting video vlog tentang "Hari Tanpa Instagram" dan bagaimana hal itu meningkatkan produktivitas mereka.
b. Mempromosikan konten positif yang edukatif dan menginspirasi, seperti tips untuk menjaga kesehatan mental, cara berkomunikasi dengan empati, atau cerita sukses tentang detoks digital. Akan tetapi perlu dihindari konten yang memicu konflik, sensasi, atau memperkeruh suasana di media sosial.
c. Melibatkan pengikut dalam gerakan positif dengan mengajak pengikut untuk ikut serta dalam tantangan seperti "7 Hari Tanpa Media Sosial" atau "Komunikasi Tanpa Komentar Kasar". Ini dapat menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya detoks digital dan detoks etika komunikasi.
4. Rekomendasi untuk Pegiat Etika Komunikasi
Pegiat etika komunikasi memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat tentang norma-norma yang harus dipatuhi dalam komunikasi daring. Berikut beberapa rekomendasi:
a. Mengembangkan panduan etika komunikasi digital tentang bagaimana berkomunikasi secara etis di media sosial. Panduan ini bisa mencakup prinsip-prinsip seperti hormat, toleransi, dan empati. Panduang seputar "Pedoman Etika Komunikasi Online" yang dapat didistribusikan ke sekolah-sekolah, universitas, dan komunitas.
b. Mengadakan diskusi publik melalui forum diskusi atau webinar tentang topik-topik seperti dampak hate speech , pentingnya empati dalam komunikasi daring, dan cara melawan budaya benci di media sosial dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi media, dan masyarakat umum.
c. Mendorong dialog terbuka dengan menginisiasi ruang diskusi yang memungkinkan individu untuk saling belajar tentang pentingnya komunikasi yang sehat. Misalnya, melalui grup diskusi online atau offline yang fokus pada isu-isu etika komunikasi.
d. Mengadvokasi perubahan sistemik melalui kerja sama dengan pemerintah dan organisasi internasional untuk mendorong adopsi standar etika global dalam komunikasi daring. Ini bisa mencakup regulasi terhadap platform media sosial dan perlindungan terhadap korban cyberbullying .
Di atas semuanya itu memang dibutuhkan kolaborasi antarpihak berbentuk kemitraan Publik-Swasta yaitu Pemerintah, LSM, dan perusahaan teknologi dapat bekerja sama untuk mengembangkan solusi inovatif, seperti aplikasi yang membantu pengguna membatasi waktu layar atau alat untuk mendeteksi dan melaporkan konten berbahaya. Selain itu, Gerakan Bersama seperti menginisiasi gerakan bersama seperti "Bulan Detoks Digital Nasional" atau "Kampanye Komunikasi Humanis" yang melibatkan semua elemen masyarakat, dari sekolah hingga komunitas lokal. Lalu hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan Penelitian Kolaboratif antara akademisi, LSM, dan pemerintah untuk memahami tren perilaku digital dan mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada.
Kesimpulan
Dalam mendorong terjadinya detoks digital ke detoks etika komunikasi memerlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Otoritas negara dapat memberikan landasan regulasi dan infrastruktur, LSM dapat menjadi motor penggerak di tingkat komunitas, influencer dapat menjadi role model bagi Gen Z, dan pegiat etika komunikasi dapat memberikan panduan praktis tentang cara berkomunikasi secara etis di era digital. Dengan kolaborasi yang kuat, kita dapat menciptakan generasi yang lebih sadar akan dampak teknologi dan lebih bertanggung jawab dalam berkomunikasi, sehingga interaksi sosial menjadi lebih humanis dan bermakna.
Generasi Z berada di persimpangan antara dua tantangan besar: kebutuhan untuk menjalani detoks digital demi kesehatan mental dan keseimbangan hidup, serta kebutuhan untuk beralih ke detoks etika komunikasi demi menciptakan interaksi sosial yang lebih khas manusia. Keduanya saling terkait dan memerlukan kesadaran serta upaya kolektif untuk diwujudkan.
Melalui langkah-langkah seperti membatasi waktu layar, meningkatkan empati dalam komunikasi daring, dan menjaga norma-norma sosial, Gen Z dapat menjadi generasi yang tidak hanya terhubung secara teknologi, tetapi juga secara emosional dan moral. Ini adalah saatnya bagi Gen Z untuk bangkit dari jerat teknologi dan perilaku tidak etis, serta kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang autentik.
Akhirnya, pertanyaan besar yang harus kita renungkan adalah: Apakah kita siap untuk mengambil langkah mundur dari dunia digital dan membersihkan diri dari kebiasaan buruk dalam komunikasi? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan interaksi sosial kita sebagai generasi yang lebih bijaksana dan humanis.
Penulis adalah Dosen Etika dan Filsafat Komunikasi pada LSPR Institute of Communication and Business Jakarta, Penulis Buku Etika dan Filsafat Komunikasi Era Digital