Indonesia Pacu Hilirisasi Petrokimia dan Gas di Era Prabowo, Dorong Pertumbuhan Ekonomi Hingga 8 Persen
INDUSTRY.co.id -Â
Jakarta - Indonesia terus memperkuat strategi hilirisasi industri petrokimia dan gas sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Prabowo. ÂMenteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan komitmennya untuk mendorong sektor ini melalui berbagai kebijakan inovatif demi mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen.
ÂSektor petrokimia dan gas dinilai memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang besar terhadap sektor-sektor lainnya.
ÂKomitmen ini disampaikan dalam acara Tekagama Forum Petrokimia dan Gas yang digelar di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jumat, 21 Februari 2025.
ÂAcara ini dihadiri oleh rektor, civitas akademika, serta para pemangku kepentingan industri petrokimia dan gas. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Taufiek Bawazier, menjadi salah satu pembicara utama dalam forum tersebut.
ÂDalam paparannya, Taufiek memaparkan pentingnya rumusan teknokratis untuk meningkatkan kontribusi sektor petrokimia dan gas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
ÂDari sektor IKFT, industri kimia, barang kimia, dan farmasi diharapkan dapat menambah nilai minimal Rp18,37 triliun hingga Rp21,28 triliun. Saat ini, subsektor IKFT telah berkontribusi sebesar Rp555,40 triliun pada PDB nasional tahun 2024.
ÂUntuk mencapai target tersebut, diperlukan integrasi kebijakan nasional yang pro-industri, seperti pengendalian impor, kemudahan investasi di sektor hulu, intermediate, dan hilir, serta penetapan harga gas industri (HGBT) yang kompetitif dengan pasokan bahan baku yang konsisten.
ÂTaufiek juga menyoroti kapasitas produksi nasional untuk produk olefin dan turunannya yang mencapai 9,7 juta ton, produk aromatik sebanyak 4,6 juta ton, serta produk C1 (metanol) sebanyak 980.000 ton.
ÂSayangnya, utilisasi kapasitas tersebut masih belum optimal, dengan impor produk petrokimia nasional pada tahun 2023 mencapai USD9,5 miliar. Misalnya, produk LLDPE dengan kapasitas nasional 700.000 ton, meskipun konsumsi nasional mencapai 656.150 ton, impor tetap tinggi di angka 280.385 ton.Â
ÂSebagai solusi jangka pendek, Kementerian Perindustrian mengusulkan pemberlakuan kuota impor dengan persetujuan PI dan LS saja, tanpa persyaratan teknis minimal 40 persen, untuk meningkatkan utilisasi produksi nasional.
Untuk jangka menengah, integrasi antara fasilitas refinery minyak dan produksi nafta sebagai bahan baku industri petrokimia menjadi prioritas demi mengurangi ketergantungan pada impor.
ÂPeluang investasi di sektor ini juga sangat besar. Misalnya, kebutuhan metanol nasional mencapai 1,6 juta ton, sementara kapasitas produksi domestik baru 721.424 ton.
ÂKemenperin telah menyusun roadmap industri yang mencakup rantai nilai dari minyak bumi, gas, dan batubara, serta potensi pengembangan produk dan pemenuhan kebutuhan domestik.
ÂSelain itu, untuk mendukung swasembada pangan, Kemenperin juga memperkuat industri pupuk nasional. Kapasitas produksi pupuk urea nasional mencapai 8.875 KTA, dengan kemampuan suplai domestik sebesar 7.897 KTA, bahkan mampu mengekspor 1.376 KTA.
ÂNamun, ketergantungan pada bahan baku impor seperti fosfat alam dan kalium masih menjadi tantangan yang memerlukan inovasi riset dalam negeri.
ÂTaufiek menegaskan bahwa ke depan, kolaborasi antara universitas, pusat penelitian, dan industri menjadi krusial untuk menghasilkan inovasi yang mendukung sektor petrokimia dan gas.
ÂFokus riset pada produk-produk dalam pohon industri akan memperkuat daya saing nasional dan mendukung realisasi target pertumbuhan ekonomi.