
Ketua Forwatan Bantolo dan Petrus Gunarso Pengamat Kehutanan
Pengamat Kehutanan: Isu Negatif LSM Rugikan Ekspor Produk Kayu ke AS

Wiyanto • Agro
Kamis, 11 September 2025 12:15 WIB
INDUSTRY.co.id-Jakarta, Laporan investigatif The New York Times yang menyoroti keterlibatan industri kendaraan rekreasi (RV) Amerika Serikat dalam deforestasi hutan tropis Kalimantan menuai tanggapan kritis dari Pengamat Kehutanan, Petrus Gunarso, Ph.D.. Ia menilai pemberitaan tersebut cenderung bombastis dan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas industri kehutanan di Indonesia.
Menurut Petrus, istilah “deforestasi” sering dipakai secara longgar oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional untuk menggambarkan perubahan tutupan lahan, bahkan ketika terjadi alih fungsi dari hutan alam menjadi hutan tanaman industri (HTI).
“Deforestasi itu apa sih? Perubahan tutupan lahan dari hutan ke non-hutan. Kalau dari hutan alam menjadi monokultur, WWF menyebut tetap deforestasi. Tapi kalau ditanam kembali dengan eukaliptus atau akasia, apa itu masih disebut deforestasi? Padahal di Indonesia, enam tahun sudah bisa dipanen. Di Norwegia atau Amerika, butuh 40 tahun baru bisa ditebang. Konteks tropis dan subtropis itu berbeda,” ujarnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian “Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi di Jakarta, Senin (8 September 2025).
Petrus menyoroti temuan Earthsight dan Auriga Nusantara yang menyebut perusahaan RV AS menggunakan kayu lauan dari Kalimantan yang terkait deforestasi.
Menurutnya, kayu tersebut kemungkinan besar berasal dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yaitu hasil tebangan saat pembukaan lahan untuk HTI.
“Itu sebenarnya sisa-sisa dari HTI, sampah yang laku dijual lalu diolah. Legal, karena ada IPK. Tapi digambarkan sangat bombastis, seolah-olah hutan alam ditebang habis-habisan untuk pasok Amerika. Padahal kenyataannya tidak begitu,” tegasnya.
Petrus juga mengingatkan bahwa sektor kehutanan Indonesia saat ini tengah menghadapi kemunduran serius. Dari sekitar 550 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di era 1990-an, kini tinggal 200-an. Produksi kayu hutan alam pun anjlok menjadi hanya sekitar 1,6 juta meter kubik per tahun — angka yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan kayu untuk Jakarta saja.
“Kalau tujuannya membunuh industri kayu, mungkin berhasil. Tapi tanpa laporan itu pun, industri kayu kita sudah megap-megap. Dengan izin yang berlapis, konflik lahan yang tak kunjung selesai, dan profitabilitas rendah, sektor ini memang makin tidak menarik investasi,” jelasnya.
Lulusan kehutanan ini juga menyinggung soal klaim NGO tentang keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) Indonesia yang seharusnya tercermin dalam komoditas kayu.
“Indonesia mega-biodiversity, tapi yang dijual ya tetap jati, meranti, atau rimba campuran. Kalau konsisten dengan prinsip itu, mestinya semua jenis dipasarkan. Tapi pasar tidak menyerap. Jadi tudingan NGO soal DNA ramin dalam kertas pun dulu pernah bikin heboh, padahal praktiknya, ramin memang dilarang ditebang,” katanya.
Bagi Petrus, laporan yang ditulis The New York Times berdasarkan riset Earthsight dan Auriga perlu dilihat dengan hati-hati.
Menurutnya, narasi “rekreasi merusak hutan tropis” bisa membentuk persepsi negatif di mata publik internasional, padahal yang diekspor hanyalah kayu hasil pembersihan lahan.
“Kalau betul kayu itu dari IPK, ya legal. Tidak seharusnya diributkan seolah ini bencana ekologis besar. Industri kehutanan kita memang bermasalah, tapi menyamakan semua aktivitas kayu dengan deforestasi jelas menyesatkan,” urainya.
Sementara itu, Guru Besar IPB University, Prof. Sudarsono Sudomo, menilai berbagai aturan di sektor kehutanan kerap menambah beban biaya tanpa memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha.
“Setiap aturan itu hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar, tentu tidak masalah. Tapi umumnya aturan justru lebih banyak biayanya daripada keuntungan yang didapat,” katanya.
Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang menurutnya tidak dirasakan manfaatnya oleh petani.
"Kalau ditanya sertifikat SVLK ke petani, rata-rata mereka tidak tahu di mana sertifikatnya. Tidak ada manfaat nyata bagi petani,” ujarnya.
Prof. Sudarsono menegaskan, pengusahaan hutan alam tidak serta merta menyebabkan deforestasi. “Hutan alam itu renewable secara biologis, tapi belum tentu secara finansial. Pengusaha juga tidak mungkin menebang semua karena biaya investasi tinggi. Asal tidak diganggu, hutan bisa pulih sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, tren industri kehutanan sejak 1990 terus menurun. Dari jumlah perusahaan hingga luas areal, semuanya menyusut tajam. “Belum pernah ada bukti di dunia ini pengusahaan hutan alam yang benar-benar berhasil. Tanpa investasi baru, industri kehutanan jelas akan berakhir,” ujarnya.
Komentar