Industri Mebel Indonesia: Terjebak Mentalitas Murah, Saatnya Berubah

Oleh : Ridwan | Kamis, 21 Agustus 2025 - 18:15 WIB

INDUSTRY.co.id - Semarang – Indonesia dikenal sebagai negeri dengan warisan kriya yang kaya mulai dari Jepara, Cirebon, Bali, dan banyak daerah lain telah menorehkan nama di peta industri mebel dan kerajinan dunia.

Nilai ekspor mebel dan kerajinan nasional pada tahun 2024 menembus USD 3,5 miliar. Meski demikian, nilai ini masih jauh dibandingkan Vietnam yang melesat di atas USD 17 miliar.

Ketua Umum Himpunan Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur pun merasa heran, kenapa dengan dukungan sumber daya, budaya, dan pasar yang besar, industri mebel dan kerajinan nasional masih tertinggal.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi industri mebel dan kerajinan nasional masih tertinggal jauh dari negara-negara pesaing.

“Regulasi, biaya logistik, dan tarif yang tinggi memang hambatan nyata. Namun, yang lebih mendasar adalah faktor mentalitas internal industri kita sendiri,” kata Sobur usai Gathering dan Seminar DPD HIMKI Semarang Raya (21/8).

Adapun, faktor mentalitas internal yang membelenggu industri mebel dan kerajinan nasional antara lain; Pertama, budaya meniru, bukan mencipta. Menurutnya, terlalu banyak produsen yang hanya menyalin katalog buyer atau meniru sesama pengusaha. 

“Akibatnya, produk kita tidak punya identitas, dan buyer luar negeri hanya melihat Indonesia sebagai pabrik murah, bukan pusat kreativitas,” tegasnya.

Kedua, perang harga yang merusak. Dikatakan Sobur, saling menjatuhkan dengan banting harga membuat industri hanya hidup dari margin tipis, pekerja tetap bergaji rendah, dan investasi jangka panjang diabaikan.

“Selama kita masih sibuk meniru, menjilak, dan saling menjatuhkan harga. Kita akan terus menjadi buruh produksi global, kita hanya ekspor kayu berbentuk kursi, bukan ekspor kebudayaan dalam bentuk desain dan gaya hidup,” katanya.

Ketiga, terjebak kuantitas, bukan kualitas. Keempat, fragmentasi, bukan kolaborasi. “Kita masih sibuk dengan ego masing-masing, sehingga buyer internasional melihat Indonesia sebagai pasar supplier parsial, bukan brand kolektif,” jelasnya.

Kelima, adanya faktor eksternal yang membebani industri yaitu, pemberlakuan EUDR pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar, dan 30 Juni 2026 untuk perusahaan kecil. Dengan kebijakan tersebut, seluruh produk harus memenuhi persyaratan bahwa bahan bakunya tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan setelah 31 Desember 2020.

Oleh karena itu, Sobur menekankan kepada pelaku industri mebel dan kerajainan untuk berbenah diri dan berubah. HIMKI menegaskan bahwa jalan kedepan harus dibangun di atas mentalitas baru.

“Pertama, orisinalitas dan inovasi harus menjadi kebanggaan, bukan sekedar pesanan buyer. Kedua, etika dagang sehat harus ditegakkan, hentikan banting harga, mulai kompetisi bermartabat. Ketiga, nilai tambah harus menjadi fokus. Dan keempat, kolaborasi ekosistem harus diwujudkan, pengusaha, desainer, pemerintah, dan akademisi harus bergerak bersama. Ini momentum untuk Indonesia,” tutup Sobur.