Menperin Agus Targetkan RI Masuk 10 Besar Produsen Crude Steel di Dunia

Oleh : Candra Mata | Minggu, 20 Juli 2025 - 19:46 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Industri manufaktur tetap konsisten sebagai sektor penyumbang terbesar pada capaian nilai ekspor nasional. Sepanjang tahun 2024, nilai ekspor dari sektor industri manufaktur menembus USD196,5 miliar atau berkontribusi sebesar 74,25 persen dari total ekspor nasional. 

“Angka tersebut tumbuh 5,11 persen dari ekspor industri manufaktur pada tahun 2023 dengan nilai USD186,9 miliar. Sedangkan pada triwulan I tahun 2025, sektor industri manufaktur memperoleh surplus perdagangan sebesar USD10,4 miliar, di mana nilai ekspor manufaktur tercatat sebesar USD52,9 miliar atau 79,4 persen dari total ekspor nasional,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam sambutannya pada acara Pelepasan Ekspor Produk Baja Lapis PT Tata Metal Lestari ke Amerika Serikat, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (18/7).

Kontribusi surplus perdagangan sektor industri manufaktur turut mendominasi surplus perdagangan Indonesia secara agregat nasional pada bulan-bulan berikutnya. Hal ini merujuk data Trading Economics dan laporan resmi Menteri Keuangan yang dirilis oleh Reuters, Indonesia membukukan surplus perdagangan sebesar USD4,9 miliar pada bulan Mei 2025. 

Sementara itu, berdasarkan pemeringkatan dari World Visualized, surplus tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-3 dunia, setelah Tiongkok (USD 103,22 miliar) dan Jerman (USD 17,8 miliar). Posisi Indonesia ini di atas Rusia (USD 4,5 miliar) dan Malaysia (USD 3,5 miliar).

“Angka positif pencapaian kinerja sektor manufaktur nasional, yang diperkuat dan bersumber dari berbagai lembaga internasional itu, mencerminkan struktur industri manufaktur Indonesia yang kuat dari hulu ke hilir. Artinya, Indonesia tidak pernah terjadi dalam fase deindustrialisasi. Hal ini sekaligus menepis dan mematahkan analisa dari siapapun yang mengatakan bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Indonesia,” ungkap Menperin Agus.

Menurut Menperin Agus, subsektor industri logam dasar yang di banyak negara industri maju diposisikan sebagai strategic backbone of industrial development, telah menunjukkan kinerja yang semakin kuat di tataran nasional. Pada triwulan I tahun 2025, sektor industri logam dasar memberikan kontribusi sebesar 1,10 persen terhadap PDB nasional, sekaligus mencatat pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sub sektor industri manufaktur lainnya, yaitu mencapai 14,47 persen (yoy). 

“Pencapaian ini mencerminkan ekspansi produksi yang kuat, didukung oleh meningkatnya permintaan global, khususnya dari sektor besi dan baja, serta keberhasilan implementasi program hilirisasi nasional yang secara konsisten meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri,” imbuhnya.

Secara khusus, industri baja nasional juga telah menunjukkan peranan yang semakin penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, pengembangan teknologi, serta mendukung penguatan industri permesinan, otomotif, galangan kapal, dan energi. 

Berdasarkan data World Steel Association, pada tahun 2024 Indonesia menempati posisi ke-14 dalam produksi crude steel dunia dengan produksi sebesar 17 juta ton. Jumlah realisasi produksi ini telah mengalami kenaikan signifikan dalam lima tahun terakhir, yaitu mencapai 98,5 persen jika dibandingkan produksi 2019 sebesar 8,5 juta ton. “Kami menargerkan dalam tiga atau empat tahun ke depan, kita bisa menempati posisi ke-11 atau ke-10,” ujar Menperin Agus.

Saat ini, kapasitas produksi terpasang crude steel nasional berada di angka 21 juta ton dan ditargetkan terus meningkat menjadi 27 juta ton pada tahun 2029. Hal ini menunjukkan optimisme dan langkah ekspansif Indonesia dalam meningkatkan daya saing industri baja di tingkat global.

Untuk menjaga momentum pertumbuhan industri baja nasional, pemerintah telah dan akan terus mengoptimalkan dukungan melalui berbagai kebijakan strategis, antara lain penerapan upaya-upaya hukum tindakan perdagangan (trade remedies) secara efektif, pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib, pemberian fasilitas Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), pengutamaan penggunaan produk dalam negeri untuk proyek pemerintah, pemberian fasilitas fiskal, serta penerapan prinsip industri hijau. 

“Kebijakan-kebijakan ini tentunya bertujuan untuk memastikan adanya peningkatan kapasitas dan utilisasi produksi baja nasional secara berkesinambungan, serta memastikan produk baja dalam negeri mampu bersaing di pasar domestik maupun pasar ekspor,” tutur Menperin Agus.