Anemia Mengancam 1 dari 3 Balita Indonesia, Apa Penyebabnya?

Oleh : Nina Karlita | Sabtu, 19 Juli 2025 - 12:39 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Anemia defisiensi besi (ADB) menjadi salah satu masalah kesehatan serius yang masih dihadapi anak-anak Indonesia. 

Data terbaru menyebutkan bahwa satu dari tiga balita di Indonesia mengalami ADB, yakni kondisi ketika tubuh kekurangan zat besi sehingga tidak dapat memproduksi hemoglobin dalam jumlah yang cukup. Padahal, hemoglobin sangat penting untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.

Jika terjadi pada usia balita, anemia tidak hanya menyebabkan kelelahan dan lemas, tetapi juga berdampak jangka panjang pada perkembangan otak, sistem motorik, bahkan menurunkan prestasi akademik di masa depan.

Menurut Kementerian Kesehatan RI, anak usia 6 hingga 24 bulan merupakan kelompok paling rentan terkena ADB. Pada usia ini, kebutuhan zat besi meningkat drastis—hingga 40 kali lipat—namun cadangan zat besi dalam tubuh anak justru menipis. 

Oleh karena itu, periode pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI) menjadi fase krusial untuk memenuhi kebutuhan zat besi dan nutrisi anak.

Fakta menunjukkan bahwa 97% kebutuhan zat besi balita diharapkan berasal dari makanan MPASI. Sayangnya, banyak orang tua yang belum memahami pentingnya asupan nutrisi seimbang pada masa ini, termasuk manfaat susu dalam pola makan anak.

Banyak mitos berkembang di masyarakat, seperti anggapan bahwa susu menyebabkan kegemukan atau bahwa semua jenis susu memiliki manfaat yang sama. Padahal, menurut Dr. Natalie D. Muth, seorang dokter anak dan ahli diet dari Healthy Children, susu tetap penting dikonsumsi anak selama jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan usia.

Anak usia 12–24 bulan disarankan mengonsumsi 470 ml susu per hari.

Anak usia 2–5 tahun membutuhkan sekitar 470–709 ml susu per hari.

Susu sapi, misalnya, mengandung kalsium, vitamin D, protein, vitamin A, dan zinc, yang semuanya berperan penting dalam pertumbuhan optimal anak.

Dr. Erna Karim, M.Si., dosen Sosiologi dari Universitas Indonesia, menekankan bahwa kader kesehatan atau kader posyandu memegang peran penting dalam menyebarluaskan informasi tentang gizi dan kesehatan anak di masyarakat. Mereka menjadi garda terdepan dalam menjangkau langsung para ibu dan anak.

Namun, Erna juga menyoroti masih kurangnya pembekalan dan pelatihan bagi para kader. Akibatnya, banyak dari mereka yang belum memahami secara mendalam tentang isu-isu kesehatan seperti stunting dan anemia, sehingga penyuluhan yang diberikan sering kali kurang tepat sasaran.

“Kader datang ke posyandu, mencatat, menimbang, lalu pulang. Bukan karena tidak peduli, tapi karena minimnya motivasi dan dukungan,” jelas Erna.

Mencegah anemia pada balita membutuhkan sinergi antara edukasi orang tua, perbaikan pola makan, serta peningkatan kapasitas kader posyandu. Pemahaman yang benar soal nutrisi, termasuk pentingnya zat besi dan konsumsi susu, perlu disosialisasikan secara konsisten.