Pakar Pemasaran IMSC: Okupansi Hotel Rendah, Ini Pemicu Utamanya

Oleh : Pakar pemasaran Indonesia Marketing Strategy Consulting (IMSC) Purjono Agus Suhendro | Kamis, 08 Mei 2025 - 18:22 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta–Tingkat okupansi hotel berbintang di Indonesia beberapa bulan terakhir terus turun. Di Bali, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menuding itu disebabkan karena banyaknya penginapan ilegal yang bermunculan, Di Jawa, terutama Jawa Barat, dianggap dipicu oleh larangan study tour sekolah.

Menanggapi hal itu, pakar pemasaran Indonesia Marketing Strategy Consulting (IMSC) Purjono Agus Suhendro berpendapat, sepinya destinasi wisata dan rendahnya okupansi hotel berbintang di berbagai kota di Tanah Air bukan dipengaruhi oleh kemunculan penginapan tanpa izin dan larangan study tour, melainkan turunnya daya beli masyarakat.

“Daya beli yang turun membuat masyarakat berpikir lebih realistis: apakah perlu melakukan traveling? Kalaupun perlu, masyarakat akan mengubah standar penerbangannya dari semula full-service carrier ke low-cost carrier. Akomodasinya dari semula hotel bintang lima menjadi bintang tiga, atau bahkan sekadar guesthouse atau homestay yang lebih murah,” katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang Maret 2025, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia memang turun 5,63% dibanding bulan sebelumnya. Jumlah kunjungan wisatawan Nusantara turun 1,76%; jumlah kunjungan wisatawan nasional turun 23,32%. Pertumbuhan ekonomi nasionalnya pun turun dari 5,11% (kuartal 1/2024) menjadi 4,87%.

Di samping faktor daya beli, menurut Purjono, efisiensi anggaran pemerintah juga mempunyai andil dalam memengaruhi tingkat okupansi hotel berbintang di Indonesia. Sebab, rapat-rapat dan seminar-seminar yang biasanya dilakukan di hotel, atau kunjungan ke luar kota yang membutuhkan akomodasi, sekarang tidak ada lagi.

“Melihat lesunya industri pariwisata nasional saat ini, yang berdampak pada sepinya destinasi wisata dan rendahnya okupansi hotel, seharusnya pemerintah lekas bergegas mencari solusinya. Solusi-solusi itu, misalnya memangkas harga tiket pesawat dan tarif hotel melalui kebijakan-kebijakan khusus agar perjalanan wisata kembali bergairah,” ungkap Purjono.

Sebab, jika tidak segera diatasi, persoalan tersebut akan menimbulkan multiplier effect, seperti tutupnya hotel-hotel yang diikuti oleh pemutusan hubungan kerja karyawan, matinya perekonomian kawasan setempat, dan lain sebagainya. “Industri pariwisata Thailand juga sedang anjlok, tetapi pemerintahnya langsung sigap mencari solusi. Belajarlah dari sana,” jelasnya.