Gawat! Industri Keramik Teriak Daya Saing Anjlok Gara-gara Ulah PGN Tetapkan Harga Gas Regasifikasi Mahal

Oleh : Ridwan | Minggu, 05 Januari 2025 - 17:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Mengawali awal tahun 2025, industri keramik nasional kembali diselimuti 'awan hitam' yang akan menjadi pengganjal kinerja pertumbuhan industri keramik Tanah Air.

Ditengah menurunnya daya saing dan tingkat utilisasi produksi akibat pembatasan kuota pemanfaatan gas dan disertai mahalnya surcharge gas, industri keramik kembali dikejutkan oleh aturan baru dari PT Perusahaan Gas Nasional (PGN) yang mengeluarkan kabijakan Harga Gas Regasifikasi.

Berdasarkan surat resmi yang diterima Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) harga gas regasifikasi yang ditetapkan oleh PGN seharga USD 16,77 per MMBTU dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari - 31 Maret 2025. 

Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto menyebut bahwa kebijakan harga gas regasifikasi yang terbilang tinggi sangat merugikan industri keramik nasional. 

"Industri keramik merasa sangat dirugikan, tiba-tiba keluar kebijakan yang merugikan industri. Dengan kebijakan tersebut artinya ini merupakan harga gas termahal di kawasan Asia Tenggara," tegas Edy di Jakarta (5/1/2025).

"Dengan adanya kebijakan harga gas regasifikasi tersebut artinya setiap pemakaian gas di atas alokasi gas industri tertentu (AGIT) industri dipaksa harus membayar lebih mahal sekitar 2,5 kali lipat dari ketetepan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar USD 6,5 per MMBTU," tambahnya.

Oleh karena itu, Asaki sangat menyayangkan kebijakan harga gas regasifikasi yang ditetapkan oleh PGN dan memohon campur tangan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. 

Disisi lain, Asaki juga telah mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan industri keramik dari keterpurukan akibat gangguan supply gas dan mahalnya surcharge yang dikenakan oleh PGN. 

Menurut Edy, hal tersebut sangat mengecewakan investor asing anggota Asaki di sektor sanitary ware yang telah berkomunikasi bahwa mereka akan menghentikan dan mengalihkan investasi tahap lanjutnya ke negara tetangga, karena tidak adanya kepastian hukum di dalam negeri.

Ditegaskan Edy, gangguan supply gas mulai tahun 2023 sampai dengan sekarang semakin menekan daya saing industri keramik baik untuk Jawa bagian Barat maupun Timur. 

"Dengan pembatasan kuota 65%-70%, terlebih dengan pengenaan surcharge sebesar USD 13,85 per MMBTU sejak Mei 2024 lalu membuat semakin membengkak komponen biaya energi naik kembali ke atas 30% dari total biaya produksi," ungkap Edy.

Sementara itu, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan mengatakan, kebijakan harga gas regasifikasi yang sangat tinggi dapat langsung menjegal pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2025, dan dimulainya pengeroposan manufaktur sebagai fondasi ekonomi menjelang target pertumbuhan ekonomi 8% di tahun 2027.

"PGN selalu berdalih hanya sebagai penyalur. Selangitnya harga gas regasifikasi mengindikasikan atau seakan membuktikan pemerintah tidak berdaulat terhadap ketahanan energi bumi pertiwi, karena tersandera oleh ulah PGN," kata Yustinus.

Terkait supply gas, Yustinus mengungkapkan bahwa kondisi ini seharusnya dikendalikan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM. Pasalnya, alokasi ditetapkan oleh Menteri ESDM berdasarkan rekomendasi Menteri Perindustrian berdasarkan kebutuhan perusahaan industri yang disampaikan dalam SIINas.

"Alokasi tersebut pasti sudah melalui perhitungan matang dengan beragam kemungkinan. Kalaupun ada kejadian luar biasa, revisi alokasi seharusnya ditetapkan dan diinformasikan oleh Menteri ESDM secara transparan secara detail, KKKS yang bandel dikenakan sangsi. Pemerintah harus menegakkan kedaulatan atas kekayaan alam yang diamanahkan oleh rakyat memilihnya," paparnya.

Perpanjangan HGBT

Asaki berharap pemerintah segera memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri keramik nasional di bulan Januari 2025. 

Dikatakan Edy Suyanto, kebijakan HGBT sangat vital bagi industri keramik yang tergolong 'lahap' energi karena sekitar 30% biaya produksi adalah biaya energi gas sebagai bahan bakar utama dan tidak bisa digantikan dengan bahan bakar lainnya. 

"Kehadiran HGBT telah memberikan multiplier effect yang besar seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja disamping kontribusi pembayaran pajak kepada negara," kata Edy.

Menurutnya, diawal implementasi kebijakan HGBT khususnya untuk Jawa bagian Barat di tahun 2021 dan 2022 dapat membantu menurunkan besaran komponen biaya energi terhadap total biaya produksi ke level 23%-26% dari sebelumnya 28%-30%. 

"Sayangnya kondisi tersebut tidak berlaku untuk industri keramik yang berada di Jawa bagian Timur yang mana sejak diberlakukannya kebijakan HGBT di tahun 2020 telah dikenakan pembatasan pemakaian atau kuota 70%-75% dari volume kontrak gas," tutup Edy.